Sunday, October 31, 2010

Mengenang Pahlawan Nasional Sulsel, Letjen Andi Abdullah Bau Massepe

Parepare, Andi Abduhlah Bau Massepe, adalah seorang Asisten Residen (Ken Kanrikan) yang dibentuk oleh Jepang ketika itu. Asisten  Residen ini membawahi lima wilayah Onder Afdeling, Parepare, Sulawesi Selatan, sebagai Kantor Pusat, Pinrang, Barru, Sidrap, dan Enrekang.  

Ketika mendengar Jepang telah menyerah kepada sekutu. Andi Abdullah Bau Masepe yakin Indonesia pasti merdeka. Tiga bulan setelah Jepang menyerah, beberapa tentara Jepang (Heiho) melarikan diri ke Suppa meminta perlindungan Andi Andullah Bau Masepe. Tentara Heiho ini diterima baik oleh Andi Abdullah Bau Masepe dan menganggap mereka adalah Duta Suppa untuk dipergunakan tenaganya dalam kesatuan bersenjata.

Dr. Ratulangi mendatangi Andi Abdullah Bau Masepe untuk mengadakan dan membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI). Perintah Dr. Ratulangi itu, disampaikan ke seluruh anggota Onder Afdeling, agar mereka membentuk PNI.  Saat itu semua rakyat yang berumur 15 tahun keatas masuk PNI yang juga merupakan orang-orang rebuliken.

Pada tanggal 21 Agustus 1945 diadakan rapat raksasa dan upacara penaikan Bendera Merah Putih di lapangan La Sinrang dengan maksud memasyarakatkan Sang Merah Putih.

Pada saat itu, Andi Abdullah Bau Massepe berpidato menyerukan agar semua rakyat mempertahankan kemerdekaan samai tetes darah penghabisan. Pada rapat-rapat selanjutnya, Andi Bau Massepe selalu menekankan perlunya persatuan dan kesatuan untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, Andi Bau Massepe juga menyusun satu kesatuan bersenjata untuk mem pertahankan Indonesia.

"Kalau perlu kita harus berkorban harta dan jiwa. Kalau kita tak dapat menikmati kemerdekaan, nanti anak cucuku kita yang menikmatinya, di Indonesia pasti mereka." Begitu ucapan Andi Abdullah Bau Massepe ketika mengadakan pertemuan rahasia yang berlangsung di rumahnya di Majennang, yang dihadiri para pegawai swapraja Suppa dan pemuka-pemuka masyarakat Suppa. Pada rapat rahasia itu disepakati menyetujui dan mengangkat sumpah mengatakan "Polopa polopanni narekko naposiri ipomateni idi' atae".

Pada saat itu juga oleh Andi Abdullah Bau Massepe memerintahkan Andi Arsyad, AndiSelle, Labanggo Siradja untuk menyusun laskar BPRI guna persiapan tempur melawan NICA (Belanda) dan dibantu oleh bekas Heihodari Jepang yang melarikan diri dan berjuang untuk kemerdekaan RI. Kemudian dibentuk juga Persatuan Merah Putih. Para komandan laskar tersebutm, masing-masing Andi Cammi di Sidrap dengan gelar Ganggawa, Andi Abu Bakar Masenrengpulu di Enrekang gelarnya BPRI Andi Parenrengi di Majene dengan gelar Kris Muda, Di Barru diberi gelar BPRI.

Tanggal 30 Agustus 1945, Andi Abdullah Bau Massepe bersama Andi Makkasau mengadakan demonstrasi barisan keliling kota Parepare dengan membawa bendera Merah Putih, sekitar 400 orang dari Suppa dengan menggunakan Kopiah berlambang merah putih, bergabung dengan PNI Parepare yang dipimin Usman Isa yang juga Ketua PNI Parepare. Gerakan itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka siap mempertahankan kemerdekaan RI. Ketika Tentara NICA berkuasa, Andi Abdullah Bau Massepe bersama pasukannya terus melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.

Pasukan dibawah Komando Andi Abdullah Bau Masepe itu melakukan gerakan gerilla dan beberapa kali terjadi kontak senjata dengan tentara NICA. Untuk kebutuhan persenjataan, Andi Bau Massepe melakukan kontak dengan Juli, seorang Komandan Polisi NICA di Balik Papan (Kaltim). Juli yang juga seorang pejuang sejati itu, mensuplai ratusan senjata dan amunisidan diselundupkan masuk melalui pelabuhan Suppa.

Rupanya gerakan perjuangan Andi Abdullah Bau Massepe membuat pusing tentara NICA. Komandan Tentara NICA kemudian menemui Andi Abdullah Bau Massepe ke Kantor Swapraja di Suppa. NICA menyodorkan selembar kertas agar ditandatangani. Isi surat itu, agar Andi Abdullah Bau Massepe mau menyetujui keberadaan Belanda di wilayahnya. Tawaran itu ditolak mentah-mentah.

"Permintaan tuan tidak dapat dipenuhi. Indonesia pasti merdeka, tidak ditawar-tawar kalau perlu saya korban bersama-sama dengan rakyat di Suppa, kalau perlu korban darah dan jiwa pun saya rela dan saya tidak bisa berbicara dua kali, hanya sekali dilahirkan oleh ibu saya, tidak cukup dua kali dan berpesan lebih baik mati berkalang tanah daripada dijajah kembali oleh Belanda." tegas Andi Abdullah Bau Massepe ketika itu. Perkataan itu membuat Komandan Tentara NICA marah.

Beberapa hari kemudian, tentara Belanda menangkap Andi Abdullah Bau Masepe bersama Andi Baso Daeng Erang Sulawatang Suppa, Andi Mojong Pabbicara Suppa dan Syamsuddin Juru tulis Suppa. Kelimanya ditahan Belanda di barak tentara NICA di kampung Kariango. Bulan Desember, Andi Abdullah Bau Massepe dan Andi Baso Daeng Erang dibunuh di Palia, yang lainnya ditembak mati di Suppa. Dari perjuangan Andi Abdullah Bau Massepe, lahirlah Resimen I Paccekke Brigade 16.  

Penganugerahan kepada pejuang sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah adalah merupakan suatu bentuk penghargaan pemerintah kepada jasa para pahlawan yang telah berkorban jiwa dan raga demi dan semata-mata untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan dimasa yang silam adalah manifestasi bahwa bangsa kita dewasa ini meski di ronrong berbagai masalah dan polemik tetap dan tak akan lekang menghargai pengorbanan para pahlawan bangsa ini, sebab Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghormati dan menghargai jasa pahlawannya.  

Begitu pun sejarah heroik yang telah dilakoni oleh sosok Andi Abdullah Bau Massepe pejuang yang dengan begitu gigih berjuang bersama masyarakat Sulawesi Selatan dalam mengusir penjajahan dari bumi Sulawesi, yang dalam rangkaian perjalanan yang begitu panjang dan berliku dan tanpa mengenal lelah serta pengorbanan harta dan nyawa telah membawa bangsa ini ke zaman yang kita nikmati saat ini, kemerdekaan dan kebebasan.

Olehnya pemerintah pusat berkenan menganugerahkan Letnan Jenderal TNI Andi Abdullah Bau Massepe sebagai pahlawan nasional pada momen Hari Pahlawan tanggal 10 November 2005 bertempat di Istana Negara Jakarta oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dihadiri segenap pejabat tinggi negara serta ahli waris, keluarga dan kerabat Andi Abdullah Bau Massepe serta masyarakat Sulawesi Selatan sendiri.

Rasa bangga dan terhormat tentu saja dirasakan oleh bukan saja keluarga dan kerabat Bau Massepe akan tetapi kebanggaan dan penghormatan tersebut juga dirasakan oleh seluruh masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya.


Oleh : Sulhayat Takdir, Sh

Monday, October 18, 2010

Selamat Ulang Tahun Sulsel Ke-341

Makassar yang dulu disebut Ujung Pandang adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan. Di Sulsel, ada beberapa suku bangsa, yaitu Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Duri, Pattinjo, Maroangin, Endekan, Pattae, dan Kajang/Konjo.

Menurut catatan Wikipedia, lima tahun setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1950, yang menjadi dasar hukum berdirinya Provinsi Administratif Sulawesi. Sekira 10 tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 47 Tahun 1960 yang mengesahkan terbentuknya Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Empat tahun kemudian, melalui UU Nomor 13 Tahun 1964, pemerintah memisahkan Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan. Terakhir, pemerintah memecah Sulawesi Selatan menjadi dua, berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004.

Kabupaten Majene, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara dan Polewali Mandar, yang tadinya merupakan kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan resmi menjadi kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, seiring dengan berdirinya provinsi tersebut pada 5 Oktober 2004 berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004.

Sunday, October 17, 2010

Go Iwata, Mahasiswa Jepang Peneliti Budaya Siri' na Pacce di Galesong Takalar

Boleh dibilang belum ada peneliti asing yang serius meneliti budaya siri' na pacce secara mendalam. Mahasiswa Jepang ini justru menghabiskan waktu selama dua tahun untuk menelitinya. Ia begitu takjub dengan dinamisasi masyarakat Sulsel. Laporan: Ridwan Marzuki, Makassar SOSOKNYA sederhana. Perawakannya tinggi. Ia begitu ramah dan murah senyum. Dengan fasih ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ia bernama Go Iwata, peneliti asal Jepang yang telah menetap di Sulsel selama dua tahun untuk melakukan penelitian mengenai budaya siri' na pacce.

Dia mampu menjawab setiap pertanyaan dengan lancar dalam tiga bahasa; Indonesia, Makassar, dan Bugis. Tetapi dibandingkan bahasa Bugis, bahasa Makassar lebih dikusasainya.

Mahasiswa S2 di Kyoto University ini berada di Makassar untuk melakukan penelitian sejak Oktober 2008. Dia begitu tertarik dengan konsepsi siri' na pacce yang dianggapnya lahir dari sebuah masyarakat dinamis. Penelitiannya telah ia rampungkan, dan September ini ia akan kembali ke negaranya, Jepang. Untuk merampungkan tesis, katanya.

Lokasi penelitian Iwata di daerah Galesong, Takalar. Sebelumnya, tepatnya saat masih S1 di Jurusan Kajian Indonesia Fakultas Kajian Asing, Tokyo University of Foreign Studies pada kurun waktu 2002-2006, dirinya intens mempelajari Bahasa Indonesia.

Juga mempelajari budaya dan sejarah negeri beribu pulau ini. Terkhusus mempelajari budaya Bugis-Makassar yang terkenal sebagai perantau, banyak memiliki pahlawan, dan memiliki jiwa patriotisme tinggi.

"Dari situ saya tertarik untuk meneliti budaya Bugis-Makassar. Saya ingin tahu apa yang melatarbelakangi sehingga Bugis-Makassar ini bersifat begitu dinamis," ungkap Iwata saat bertandang ke redaksi Fajar, Senin 20 September lalu.

Bukan hanya mempelajari budaya Bugis-Makassar, tetapi kebudayaan Jawa juga tak urung menjadi bagian yang dipelajari dan menarik perhatiannya. Hanya saja, penelitiannya fokus pada budaya Bugis-Makassar, yaitu konseps siri' na pacce (Makassar) atau siri' na pesse (Bugis).

Siri' na pacce, kata dia, merupakan tema umum yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sulsel, khususnya etnis Bugis-Makassar. Iwata menjelaskan, pada mulanya, siri' na pacce merupakan sesuatu yang berkaitan kawin lari.

Yakni jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan siri' dan membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya disebut tumasiri', yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari).

Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya yang selanjutnya disebut a'bajik.

Jika ini belum dilakukan, maka status tumasiri' tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika a'bajik sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang mengganggunya akan dicap sebagai pelanggar adat dan dikenakan hukum adat.

"Inti budaya siri' na pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena, siri' na pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar," ucap pria kelahiran Jepang, 21 September 1983 ini.

Siri' na pacce, imbuhnya, juga berfungsi mencipatakan hubungan harmonis serta melahirkan kerukunan antar sesama, baik dalam relasi antar-individu, kelompok, maupun kemasyarakatan. Konsep itu, kata lelaki bujang ini, berkaitan erat dengan saling menghargai atau sipakatau atau sipakalabbiri (Makassar). Intinya, kata dia, budaya siri' na pacce mengarahkan manusia untuk saling menghargai dan menghormati harga diri masing-masing, serta saling mengasihi dan menyayangi.

Dan itu, imbuhnya, sampai kini tidak mengalami pergeseran berarti, kecuali pada wilayah ekspresif atau simbol. Dalam Bahasa Indonesia, siri' biasa diterjemahkan dengan malu, harga diri, kehormatan. Tapi menurut Iwata, semua itu tidak pas mewakili makna siri' yang sebenarnya.

"Sering saya dengar orang terutama di media-media mengatakan bahwa budaya siri' na acce itu telah pudar. Tetapi menurut saya, keberadaan wacana seperti itu membuktikan bahwa perhatian terhadap budaya ini masih sangat tinggi. Mengapa? Karena orang di sini sendiri menganggap budaya ini sebagai suatu konsep yang begitu tinggi, yakni suatu nilai budaya yang sangat penting," urainya.

Menurut Iwata, ada kemiripan budaya malu antara orang Jepang dan Bugis-Makassar. Orang Jepang, katanya, selalu memperhatikan pandangan orang lain terhadap dirinya sementara orang Sulsel (Makassar), kehormatan atau harkat keluarga begitu dijunjung. Rasa persaudaraan orang Sulsel juga dinilainya sangat tinggi.

Sebagai contoh, ungkapnya, tidak seorang pun yang menolak kehadirannya di Galesong selama hampir dua tahun. Dia bahkan sangat terkesan dengan sikap Camat Galesong yang ditinggalinya selama melakukan penelitian.

"Saya mengerti keadaan kamu karena saya juga pernah kuliah di Jawa, yakni di Universitas Gajah Mada," ujar Iwata menirukan perkataan Camat Galesong, saat menolak pembayaran sewa rumahnya.

Begitu berkesannya Sulsel baginya, sehingga suatu saat ia berharap dapat kembali ke Indonesia mengunjungi orang Makassar. Ia malah menganggap Sulsel sebagai kampung halaman keduanya. Oleh karena itu, kepulangannya ke Jepang dianggapnya bukan sebuah perpisahan, melainkan langkah atau jenjang untuk melanjutkan hubungan yang lebih erat dan lebih dalam lagi.

"Jadi itu juga wujudnya persaudaraan orang Sulawesi Selatan ini. Sekali kenal baik, maka ikatan persaudaraannya akan sangat kuat. Makanya saya harus kembali lagi ke sini, atau orang sini yang ke Jepang. Pappala' doangngang mamaka," ucapnya dalam Bahasa Makassar yang berarti minta didoakan. (*)

Sumber : Fajar News (www.news.fajar.co.id)


The Bugis (The Peoples of South-East Asia and the Pacific)Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia (Case Studies in Cultural Anthropology)Bugis Weddings: Rituals of Social Location in Modern Indonesia (Monograph Series, Center for South and Southeast Asia Studies University of Californ)Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern MakassarMakassar: Webster's Timeline History, 1646 - 2007And The Sun Pursued The Moon: Symbolic Knowledge And Traditional Authority Among The Makassar

Sunday, July 4, 2010

I La Galigo : Sebuah Epos Peradaban Panjang Manusia Sulawesi

Epos I La Galigo adalah sebuah salah satu karya sastra yang pernah ditemukan di Indonesia. Terdiri dari beberapa bagian besar tulisan puisi yang ditulis dalam bahasa bugis kuno dan saling berhungan satu sama lain. Manuskrip I La Galigo dapat ditemui di perpustakan-perpustakaan eropa, khususnya di Perpusatakaan Universitas Leiden. Juga dapat ditemui sekitar 600 halaman di Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara (baca: Matthesstichting), bila digabungkan dengan koleksi manuskrip yang ada di Eropa(5,400 halaman), maka totalnya sekitar 6,000 halaman. Dan masih banyak lagi yang disimpan oleh masyarakat sulawesi selatan. abad kesembilanbelas Matthes mengumpulkan 2000 manuskrip yang ditulis kembali oleh Collie’ Pujie (Ratu Tanete).


Saturday, June 19, 2010

Lontara Sebagai Warisan Budaya Peradaban Bugis Makassar

Catatan lontara pertama dbuat di daerah Luwu’ sebelum daerah lain mengenal kebiasaan menulis, lontara itu sering disebut sure’ attoriolong dan sure’ Galigo, pada epos I La Galigo awalnya masyarakat Luwu’ menggunakan daun Aka’(Corypha Gebanga). Kebiasaan menulispun tersebar di daerah lain, terutama Gowa dan Tallo’. Orang Gowa menggunakan daun dari pohon Tala’(Borassus Flabelliformis) sebagai media, data ini berasal dari Raja Gowa ke-9 Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumapa’risi’ Kallonna, yang berkuasa sekitar tahun 1512 sampai 1548. Setelah masyarakat di Sulawesi selatan mengadakan kontak dengan Portugis pada tahun 1538, mulailah pemakaian kertas dan memulai membuat catatan-catatan harian.


Lontara adalah manuskrip-manuskrip yang berupa catatan-catatan tertulis yang aslinya ditulis di daun lontar dengan menggunakan alat tajam, kemudian dbubuhi warna hitam pada bekas guratan-guratannya. Sehingga a dapun tanda-tanda bunyi atau aksara yang dipergunakan disebut AKSARA LONTARA. Lontara asli sudah sukar ditemukan. Kemudian muncullah sejenis alat tulis yang menggantikan benda tajam untuk menoreh yang disebut “Kallang” yaitu semacam alat yang dipakai untuk menulis pada Papan Batu ( Bugis :Papeng Batu).

Setelah ditemukannya kertas yang menggantikan posisi daun lontar dan Papan Batu sebagai tempat menulis maka nama Lontara tetap dipertahankan. Manuskrip-manuskrip atau catatan-catatan tertulis itu beraneka ragam isinya anatara lain :


1. PASENG
Paseng adalah kumpulan amanat keluarga atau orang-orang bijak yang diamanatkan turun-temurun dengan ucapan-ucapan yang dihafal, yang kemudian dicatat dalam lontara dan dijadikan semacam pusaka turun-temurun. Paseng yang demikian dipelihara dan menjadi kaidah hidup dalam masyarakat yang harus dihormati.. Bentuk pelanggaran Paseng Keluarga di atas bagi seseorang anggota keluarga maka orang itu akan dikucilkan oleh keluarganya.. Bagi orang yang tidak memperdulikan paseng dimasukkan dalam golongan ORANG YANG TAK DAPAT DITANAM BATUNYA (Bugis : Tempedding Ritaneng Batunna} dan tak boleh dijadikan keluarga.

Paseng dapat juga berupa perjajnjian atara dua pihak atau lebih yang harus ditaati. Paseng dapat juga berupa amanta sepihak kepada keluarga turun-temurun. Misalnya : (a) perjanjian Tomanurung dengan Rakyat, (b) larangan untuk mengawini keturunan bekas tuan, dan (c) mengikat persaudaraan yang kekal turun-temurun antara kaum dengan kaum yang lainnya.

2. ATTORIOLONG
Kumpulan catatan mengenai silsilah para raja, keluarga bangsawan, dan keluarga-keluarga tertentu. Attoriolong dapat diambil bahan-bahan untuk menyusun sejarah atau menyusun silsilah seseorang. Dengan demikian, Attoriolong merupakan kumpulan catatan-catatn peristiwa lalu yang dialami orang dahulu. Seperti Attoriolongna Bone yang menceritakan tentang silsilah raja Bone serta peristiwa-peristiwa yang dialaminya.

3. PAU-PAU RI KADONG
Pau-Pau ri Kadong adalah cerita rakyat yang mengandung legenda tentang berbagai kejadian atau peristiwa luar biasa, namun kebenarannya diragukan. Misalnya cerita didirikannya sebuah kerajaan. Pau-Pau ri Kadong adakalanya menggambarkan peristiwa atau kejadian-kejadian yang tak masuk akal, tetapi kejadian yang tak masuk akal tersebut dinyatakan terus terang sebelum pencerita menceritakannya. Dalam Pau-Pau ri Kadong sebagai lontara melukiskan sesuatu kisah dengan berbagai macam gaya pantastis sebagai daya tarik dan sebagi obat pelipulara dan sifatnya menghibur..

4. TOLO’ ATAU PAU-PAU
Tolo’ atau Pau-Pau sering disebut Ruaja , yaitu semacam cerita rakyat yang sudah tertulis yang biasanya menceritakan tentang tokoh yang benar-benar pernah ada. Cara penyajiannya adakalanya disertai bumbu-bumbu seperti pau-pau ri kadong tetapi lebih banyak mengandung fakta-fakta yang masuk akal, misalnya “Tolo’ Rumpa’na Bone” yang mengisahkan peperangan Bone dan tokoh-tokohnya.

5. PAPPANGAJA
Adalah kumpulan pedoman hidup atau nasihat yang diberikan oleh orang tua kepada anak keturunannya. Misalnya “Pappangaja” yang kesohor di kalangan Bugis-Makassar yang biasa disebut “Budi Istihara” semacam hikayat orang Melayu yang berasal dari kepustakaan orang Arab.

6. ULU – ADA
Yaitu manuskrip mengenai perjajnjian antar Negara atau kerajaan. Misalnya, “LamumpatuE ri Timurung” adalah Ulu-Ada atau Perjanjian anatara Bone, Wajo, dan Soppeng untuk bersama-sama menghadapi agresi kerajaan Gowa. Demikian juga perjajnjian perdamaian anatara Gowa dan VOC yang disebut “Cappa’E ri BungaE”

7. SURE’ BICARA ATTORIOLONG
Adalah kumpulan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam negeri-negeri yang berdasarkan pada adat leluhur. Jadi dapat disebut sebagai peraturan-peraturan leluhur yang ditaati berdasarkan kebijakan yang dilimpahkan oleh leluhur berupa “Ade” atau petunjuk-petunjuk yang bersifat normative dalam kehidupan masyarakat. Misalnya “Rapang ri Lalenna Bone ri Palilina Bone” yakni rapang yang berlaku di Tana Bone dan negeri-ngeri yang ditaklukkan.

8. PAU-KOTIKA
Adalah kumpulan catatan tentang waktu-waktu yang baik dan buruk untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, memberi petunjuk tentang waktu yang baik memulai mengerjakan sawah. Mendirikan rumah, dan sebagainya.

9. SURE’ EJA
Merupakan kumpulan Elong atau syair-syair atau prosa lirik yang dinyayikan pada upacara tertentu. Misalnya (a) elong-osong yaitu nyanyian perang yang dinyayikan untuk menghadapi perang (b) elong-padodo ana’ saat meninabobokkan anak (c) elong-Massagala yaitu dinyayikan untuk mengusir semacam penyakit, dan (d) elong-Kallolo yakni syair yang dipergunakan oleh kaum muda-mudi untuk saling menyindir dan merindu.

10. SURE’ BAWANG
Yaitu kumpulan cerita-cerita roman segala macam jenis. Seperti roman masyarakat, roman perang, dan sebagainya.

(Sumber Referensi : Latoa, Mattulada 1985 hal. 16-19)


Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia (Case Studies in Cultural Anthropology)The Bugis (The Peoples of South-East Asia and the Pacific)Bugis Weddings: Rituals of Social Location in Modern Indonesia (Monograph Series, Center for South and Southeast Asia Studies University of Californ)La Tinulu La Kasiasi (excerpt)Bugis: Webster's Timeline History, 1667 - 2007

Monday, June 7, 2010

Makna Peribahasa Bugis Makassar


  1. Lapa nakulle’ taue’ mabbaina narekko naulle’ni magguli-lingiwi dapurenge’ we’kka pitu. (Apabila seseorang ingin beristeri, harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali).

    1. Artinya: Di sini dapur merupakan perlambang dari masalah pokok data, kehidupan rumah tangga. Sedangkan tujuh kali merupakan padanan terhadap jumlah hari yang juga tujuh (Senin sampai Minggu). Maksudnya, sebelum berumah tangga harus memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab menghidupi keluarga setiap hari.

  2. De’k nalabu essoe’ ri tenngana bitarae’. (Tak akan tenggelam matahari di tengah langit).

    1. Artinya: Manusia tidak akan mati sebelum takdirnya sampai. Oleh karena itu, keraguan harus disingkirkan dalam menghadapi segala tantangan hidup.

  3. Jagaiwi balimmu siseng mualitutui ranemmu wekka seppulo nasaba rangemmu ritu biasa mancaji bali. (Jagalah lawanmu sekali dan jagalah sekutumu sepuluh kali lipat sebab sekutu itu bisa menjadi lawan).

    1. Artinya: Terhadap lawan sikap kita sudah jelas, namun yang harus lebih diwaspadai jangan sampai ada kawan berkhianat. Sebab, lawan menjadi bertambah dan membuat posisi rentan karena yang bersangkutan mengetahui rahasia (kelemahan) kita.

  4. Lebbik-i cau-caurennge’ napellorennge’. (Lebih baik sering kalah daripada pengecut).

    1. Artinya: Orang yang sering kalah, masih memiliki semangat juang meskipun lemah dalam menghadapi tantangan. Sedangkan seorang pengecut, sama sekali tak memiliki keberanian ataupun semangat untuk berusaha menghadapi tantangan.

  5. Malai bukurupa ricau’e, mappalimbang ri maje’ ripanganroe’. (Memalukan kalau dikalahkan, mematikan kalau ditaklukkan).

    1. Artinya: Dikalahkan karena keadaan memaksa memang memalukan. Sedangkan takluk sama halnya menyerahkan seluruh harga diri, dan orang yang tidak memiliki harga diri sama halnya mati.

  6. Naiya tau malempuk-e’ manguruk manak-i tau sugi-e. (Orang jujur sewarisan dengan rang kaya).

    1. Artinya: Orang jujur tidak sutit memperoleh kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya.

  7. Masse’sapanga, temmase’sa api, masse’sa api temmas’esa botoreng. (Bersisa pencuri tak bersisa api, bersisa api tak barsisa penjudi).

    1. Artinya: Sepintar-pintarnya pencuri, dia tidak mampu mengambil semua barang (misalnya mengambil rumah atau tanah). Akan tetapi sebesar-besarnya kebakaran hanya mampu menghancurkan barang-barang (tanah masih utuh). Akan tetapi seorang penjudi dapat menghabiskan seluruh barang miliknya (termasuk tanah dalam waktu singkat).

  8. Mau mae’ga pabbise’na nabonngo ponglopinna te’a wa’ nalureng. (Biar banyak pendayungnya, tetapi badoh juru mudinya).

    1. Artinya: Kebahagiaan rumah tangga ditentukan oleh banyak hal, tetapi yang paling menentukan adalah kecakapan dan rasa tanggung jawab kepala rumah tangga itu sendiri.

  9. Naiya accae ripptoppoki je’kko, aggati aliri, nare’kko te’yai maredduk, mapoloi. (Kepandaian yang disertai kecurangan ibarat tiang rumah,kalau tidak tercabut ia akan patah).

    1. Artinya: Di Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakan pasak. Jika pasak itu bengkok sulit masuk ke dalam lubang tiang, dan patah kalau dipaksakan. Kiasan terhadap orang pandai tetapi tidak jujur. Ilmunya tak akan mendatangkan kebaikan (berkah), bahkan dapat membawa bencana (malapetaka).

  10. Narekko mae’lokko tikkeng se’uwa olokolok sappak-i bate’lana. Narekko sappakko dalle’k sappak-i mae’gana bate’la tau. (Kalau ingin menangkap seekor binatang, carilah jejaknya. Kalau mau rezeki, carilah di mana banyak jejak manusia).

    1. Artinya: Pada hakikatnya, manusialah yang menjadi pengantar rezeki, sehingga di mana banyak manusia akan ditemui banyak rezeki.

  11. Teppettu maoompennge’, teppolo massellomoe’. (Tak akan putus yang kendur, tak akan patah yang lentur).

    1. Artinya: Peringatan agar bijaksana menghadapi suatu permasalahan. Toteransi dan tenggang rasa perlu dipupuk supaya keinginan tercapai tanpa kekerasan.

  12. Tarukie’ inapessu, padai tonangie’ lopi sebbok. (Menuruti hawa nafsu ibarat menumpang perahu bocor).

    1. Artinya: Jika menuruti hawa nafsu, lenyaplah pengendalian diri. Oleh karena itu, setiap usaha yang dilandasi hawa nafsu, yang berlebihan bisa berakhir dengan kegagalan.

  13. Rebba sipatokkong, mali siparappe’, sirui me’nre tessurui nok, malilusipakainge, maingeppi mupaja. (Rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti).

    1. Artinya: Pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan, dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Hal itu akan akan tenwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

  14. Pala uragae’, tebakke’ tongennge’ teccau mae’gae’, tessie’wa siyulae’. (Berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan).

    1. Artinya: Tipu daya, mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tidak akan hilang. Kebenaran akan tetap hidup bersinar terus dalam kalbu manusia karena akan ia datang dari sumber yang hakiki, yaitu Tuhan YME.

  15. Taroi telleng linoe’, tellaing pe’sonaku ri masagalae’. (Biar dunia tenggelam, tak akan berubah keyakinanku kepada Tuhan).

    1. Artinya: Apapun yang terjadi, keyakinan yang sudah dihayati kebenarannya tidak boleh bergeser, karena segala kesulitan di dunia ini hanyalah tantangan untuk menguji keimanan sescorang.

  16. Ajak mapoloi olona tauwe’. (Jangan memotong (mengambil) hak orang lain.

    1. Artinya: Memperjuangkan kehidupan adalah sesuatu yang wajar, tetapi jangan menjadikan perjuangan itu pertarungan dengan kekerasan yaitu saling merampas rezeki orang lain.

  17. Nare’kko mae’lokko made’ceng ri jama-jamammu, attanngakko ri bate’lak-e’. Ajak muolai bote’lak sigaru-garue’, tutunngi bate’lak makessinnge’ tumpukna. (Kalau mau berhasil dalam usaha atau pekerjaanmu, amatilah jejak-jejak. Jangan mengikuti jejak yang simpang siur, tetapi ikutlah jejak yang baik urutannya).

    1. Artinya: Jejak yang simpang siur adalah jejak orang yang tidak tentu arah tujuan. Jejak yang baik urutannya adalah jejak orang yang berhasil dalam kehidupan. Sukses tak dapat diraih dengan semangat saja, melainkan harus dibarengi dengan tujuan yang pasti dan jalan yang benar.

  18. Tuppui noterri, turungngi name’cawa. (Mendaki ia menangis, menurun ia tertawaun).

    1. Artinya: Setiap keadaan ada timbal baliknya. Ada dua hal yang silih berganti dalam kehidupan. Maka bersiaplah menghadapi dua kemungkinan itu. Jangan takabur ( sombong) jika sedang merasakan kebahagiaan, karena nanti akan merasakan kesedihan juga. Demikian pula sebaliknya, jangan terlampau bersedih jika dirundung malang, karena dari situlah proses terjadinya kebahagiaan bakal dimulai.

  19. Manyumui mellekmu tabbelle barrek, iami napitakko manuk. (Berhati-hatilah dengan hasratmu, kelak tertumpah bagaikan beras lalu engkau dicotok ayam).

    1. Artinya: Memperlihatkan hasrat yang berlebihan sama halnya menunjukkan kepribadian yang lemah. Dengan menampakkan kelemahan berarti membuka peluang bagi orang yang bermaksud jahat melaksanakan niatnya.

  20. Ia de’ce’nnge’ mabuang tassanrama. (Kebaikan itu meski pun jatuh tersangkut jua).

    1. Artinya: Kebaikan kadang tertutup oleh gelapnya keadaan. Akan tetapi su atu saat akan tampak dalam nurani manusia yang mencintai kebaikan.

  21. Side’ce’ng-de’ce’nna ado de’k-e’ riolona, engka rimumnri. Sijakna ada engka riolona de’k-e’ rimunri. (Sebaik-baiknya bicara ialah yang kurang komentar tetapi didukung oleh kenyataan. Seburuk-buruk bicara adalah yang banyak komentar tetapi tidak didukung oleh kenyataan).

    1. Artinya: Sedikit bicara tetapi banyak kerja lebih baik daripada banyak bicara tetapi tidak bekerja.

  22. Unga tabbakkae’ ri subue’ nare’kko nompokni essoe’ pajani baunna. (Kembang mekar di waktu subuh, di kala matahari terbit baunya pun hilang).

    1. Artinya: Jangan langsung percaya atau gembira mendengar berita atau janji yang muluk-muluk, sebab berita tersebut mungkin saja tidak sesuai dengan kenyaataan.

  23. Cecreng Ponna, kella-kella tenngana, sapuripalek cappakna. (Serakah awalnya, tamak pertengahannya, licin tandas akhirnya).

    1. Artinya: Sejauh keserakahan bertambah, sejauh itu pula menghanyutkan yang baik dan akan berakhir dengan kehancuran.

  24. Sadda mappabati’ ada, ada mappabati’ gau, gau’ mappabati’ tau. (Bunyi mewujudkan kata, kata menandakan perbuatan, perbuatan menunjukkan manusia).

    1. Artinya: Kedudukan dan peranan orang Bugis lebih ditentukan oleh perbuatan daripada nama yang bersangkutan. Dengan kata lain, kata dan perbuatan seseorang akan menentukan derajat nilai seseorang dalam masyarakat.

  25. Iyya nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttaya tammattikamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, annyalotongi ase’yo. (Jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi).

    1. Artinya: Jika adat dilanggar berarti melanggar kehidupan manusia. Akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh seluruh anggota masyarakat, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan alam semesta.

  26. Pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellennge’ nato’walie’. (Layarku sudah berkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali).

    1. Artinya: Semangat yang mengandung makna kehati-hatian dan didasarkan atas acca (mendahulukan pertimbangan yang matang). Pelaut Bugis tak akan berlayar sebelum tiang, jangkar, serta tali-temali diperiksa cermat dan teliti. Di samping itu juga memperhatikan waktu dan musim yang tepat untuk berlayar. Setelah segala sesuatunya meyakinkan, barulah berlayar.

  27. Alai cedde’e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang. (Ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, tolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan).

    1. Artinya: Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja (kepatutan). Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan merupakan suatu perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh kepatutan, kepantasan, dan kelayakan.

  28. Balanca manemmui waramparammu, abbeneng anemmui, iakia aja’ mupalaowi moodala’mu enrennge’ bagelabamu. (Boleh engkau belanjakan harta bendamu, dan pakai untuk beristri, namun janganlah sampai kamu menghabiskan modal dan labamu).

    1. Artinya: Peringatan pada para pedagang (pengusaha) agar dalam menggunakan harta tidak berlebihan sehingga kehabisan modal dan membangkrutkan usahanya.

  29. Siri’e’ mi rionrowong ri-lino. (Hanya untuk siri’itu sajalah kita tinggal di dunia).

    1. Artinya: Dalam pepatah ini ditekankan bahwa siri’ sebagai identitas sosial dan martabat pada orang Bugis, dan jika memiliki martabat itulah, hidup menjadi berarti.

  30. Ade’e’ temmakke-anak’ temmakke’-e’po. (Adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu).

    1. Artinya: Dalam menjalankan norma-norma adat tidak boleh pilih kasih (tak pandang bulu). Misalnya, anak sendiri jelas-jelas melakukan pelanggaran, maka harus dikenakan sanksi (hukumman) sesuai ketentuan adat yang berlaku.

  31. Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambu suka kammai bulo ammawanga ri je’ne’ka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na ammumbai poko’na. (kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang kedalam lubuk; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan ujungnya maka pangkalnya timbul).

    1. Artinya: Kecurangan mudah disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul ke permukaan.

  32. Mattulu’ perejo te’pe’ttu siranrang, padapi mape’ettu iya. (Terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya)

    1. Artinya: Ungkapan ini melambangkan eratnya persahabatan. Masing-masing saling mempererat dan memperkuat, sehingga tidak putus jalinannya. Apabila putus satu, maka semua putus.

  33. Naia riyasennge’ pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adae’ enrenge’ gau’e’ napolei’ ja’ enrenge’ napolei’ de’ceng. (Cendekiawan (pannawanawa) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari samapai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi demikian pula perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan).

    1. Artinya: Ungkapan ini menggambarkan posisi orang pandai di masyarakatnya.

  34. Aja’ mumatebek ada, apak iyatu adae’ mae’ga bettawanna. Muatutuiwi lilamu, apak iya lilae’ pawere’-were’.(Jangan banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya. Jaga lidahmu, sebab lidah itu sering mengiris).

    1. Artinya: Peringatan agar setiap orang selalu menjaga kata-kata yang diucapkan jangan sampai menyakiti hati orang lain.

  35. Aju malurue’mi riala parewa bola. (Hanyalah kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah).

    1. Artinya: Rumah sebagai perlambang dad pemimpin yang melindungi rakyat. Hanya orang yang memiliki sitat jujur yang layak dijadikan pemimpin, agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi perannya dengan baik.

  36. Duwa laleng tempekding riola, iyanaritu lalenna passarie’ enrennge’ lalenna. Paggollae’. (Dua cara tak dapat ditiru, ialah cara penyadap enau dan cara pembuat gula merah).

    1. Artinya: Jalan yang ditempuh penyadap enau tidak tentu, kadang dari pohon ke pohon lain melalui pelepah atau semak belukar, sehingga dikiaskan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pembuat gula merah umumnya talk menghiraukan kebersihan, lantaran itu hanya tak diketahui orang.

The Bugis (The Peoples of South-East Asia and the Pacific)
Bugis Navigation (Yale Southeast Asia Studies Monograph Series, No 48)


Friday, May 14, 2010

Kotika Bilang Duappulo

Kotika ini sering digunakan untuk menentukan waktu/hari yang baik dan buruk dalam memulai suatu kegiatan, seperti mendirikan rumah, memulai mengerjakan sawah, menentukan hari perkawinan, waktu yang baik untuk menagih utang, berdagang dan bahkan digunakan untuk menentukan waktu dalam peperangan atau perkelahian.

kalender tradisional bugis makassar ini masih sering digunakan oleh para sesepuh dan orang tua, terutama di kalangan keluarga bangsawan, kotika/putika ini banyak dipengaruhi oleh perhitungan kalendar Islam.

Namun yang sangat disayangkan, saat ini hanya kalangan tertentu yang masih mengetahui cara pemakaian kotika ini, dan diharapkan generasi muda saat ini juga dapat melestarikan peninggalan luhur ini.

Monday, May 10, 2010

Lontara Sure' Baweng


Makkedi Kunéng Loloé
Daéng Parénréng Ajué
bissu terru' akasaé
nalanyu-lanyué letté
napasaddaké rakile'
‘Iko mennang maloloé
rékkua lao ko mita
parukusemmu la élo'
musiduppa lao cemmé
makkunrai maloloé
aja'mu marakka-rakka
palutturi manu'-manu'
paddibola I duta
Madécéng cinampa' mua
madodong ri munri ritu
dallé' ripadallékangngéngngi

Kutipan dari Lontara Sure' Baweng, tentang nasihat dalam mencari jodoh.


 
                 A Vocabulary of the English, Bugis, and Malay Languages: Containing About 2000 Words

Friday, April 30, 2010

Raja Perempuan Bugis Makassar IV

 Sidenreng

1634 Adatuang We Abeng
Beliau menggantikan ayahnya Adatuang La Patiroi, tetapi di tahun yang sama beliau digantikan saudara laki-lakinya, La Makkaraka.

Sekitar 1700-an Adatuang Adi We Rakkia Karaeng Kanjenne
Menggantikan ayahnya, Adatuang La Mallewai.

Soppeng

… Soledatu We Tekewanua ri Soppeng
Menggantikan ayahnya , La Bang, menikah dengan La Temmapeo dan digantikan oleh putranya, La Makkanenga.

1707-? Soledatu We Adda
Menggantikan saudaranya, La Tenrisenge Towesa dan menikah dengan Arung Palakka ri Bone.

1724-38 Soledatu Batari Toja
Menggantikan saudaranya, La Pad dan kemudian digantikan saudaranya yang lain, La Mappasosong.

1820-28 Datuk Wa Tanriawani Aru Lapajung Matinroe ri Barunga

1895-1940 Soledatu Sitti Saenabe Aru Lapajung
Menggantikan kerabatnya dan menikah dengan La Pabeangi Aru Ganra, dan kemudian digantikan oleh anaknya, Andi Wanna.

Suppa

… Datuk We Tepulinge
Cucu laki-lakinya, La Putebubu dibaptis dengan nama Dom Joao.

Setelah 1544 Datuk Lampe Ellong
Cucu perempuan Dom Joao, beliau menggantikan ayahnya dan menikah dengan La Cellamata dan digantikan oleh Ratu Tosappe.

Sekitar 1600 Datuk Tosappae
Beliau digantikan kerabatnya, La Pancaitana.

Sekitar 1600 Datuk We Pasulle
Beliau menggantikan ayahnya, La Pancaitana . Menikah dengan La Patiroi dan digantikan oleh putranya, La Tenrisessi.

… Datuk We Tasi
Beliau digantikan oleh putranya, Todani yang mangkat pada tahun 1681.

1860-81 Datuk Basse Kajuwara Abdul Hadi Pelaiengi Passempa.
Beliau adalah putri dari Arung Kajuawara, La Tenrisukki, beliau kemudian digantikan oleh putrinya
 I Madellung Arung Kajuawara.

1881-1902 Datuk I Madellung Arung Kajuawara
Menggantikan ibunya, Basse Kajuawara, istri dari To Tompeng Aru Sengkang atau To Lampeng, yang merupakan Datu Suppa (1848-60) dan digantikan putra dari saudara perempuannya.

1950-59 Datuk I Suji
Putra beliau La kane (Koneng/Kuneng) saat ini merupakan pemimpin baru di Suppa.

Tallo

Sebelum 1590 I Sambo
Beliau menggantikan ayahnya, I Daeng Padulu, dan kemudian digantikan oleh suaminya, Tunijallo, yang juga adalah Raja Gowa, dan memerintah di Tallo sampai tahun 1590.

1767-77 I Sitti Saleh
Terlahir sebagai Putri Mahkota Taeng, beliau menggantikan Abdul Kadir II.

1814-24 Sultana Sitti Saleh II Karaeng Bontomasugi Tumenanga ri Kanatojena
Sitti Saleh II merupakan penguasa Tallo pertama setelah Gowa dan Tallo berpisah. Beliau adalah putri dari Safiudin Mappainga Karaeng Lempangang. Dan kemudian digantikan saudaranya, I Mappatunru, yang mangkat setahun kemudian.

1845-50 Sultana Batari Toja Sittie Aisya Karaeng Bontomasugi Tumenanga ri Bontomanai
Beliau menggantikan saudaranya, La Odanriu Karaeng Katangka.

Wajo

1925-46 Ranrang Toewa Andi Ninong
Beliau menikah dengan Andi Malingkaang ri Gowa. Andi Ninong diturunkan dari tahtanya oleh belanda pada tahun 1946 dan suaminya dibunuh oleh tentara belanda setelah perang dunia II, putrinya, Andi Muddariah merupakan figurl bangsawan kerajaan Wajo dengan gelar kebangsawanan Petta Ballasari. Karena beliau adalah salah satu dari Bangsawan murni Bugis Makassar.


A Vocabulary of the English, Bugis, and Malay Languages: Containing About 2000 Words
The Bugis (The Peoples of South-East Asia and the Pacific)
.