Saturday, June 19, 2010

Lontara Sebagai Warisan Budaya Peradaban Bugis Makassar

Catatan lontara pertama dbuat di daerah Luwu’ sebelum daerah lain mengenal kebiasaan menulis, lontara itu sering disebut sure’ attoriolong dan sure’ Galigo, pada epos I La Galigo awalnya masyarakat Luwu’ menggunakan daun Aka’(Corypha Gebanga). Kebiasaan menulispun tersebar di daerah lain, terutama Gowa dan Tallo’. Orang Gowa menggunakan daun dari pohon Tala’(Borassus Flabelliformis) sebagai media, data ini berasal dari Raja Gowa ke-9 Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumapa’risi’ Kallonna, yang berkuasa sekitar tahun 1512 sampai 1548. Setelah masyarakat di Sulawesi selatan mengadakan kontak dengan Portugis pada tahun 1538, mulailah pemakaian kertas dan memulai membuat catatan-catatan harian.


Lontara adalah manuskrip-manuskrip yang berupa catatan-catatan tertulis yang aslinya ditulis di daun lontar dengan menggunakan alat tajam, kemudian dbubuhi warna hitam pada bekas guratan-guratannya. Sehingga a dapun tanda-tanda bunyi atau aksara yang dipergunakan disebut AKSARA LONTARA. Lontara asli sudah sukar ditemukan. Kemudian muncullah sejenis alat tulis yang menggantikan benda tajam untuk menoreh yang disebut “Kallang” yaitu semacam alat yang dipakai untuk menulis pada Papan Batu ( Bugis :Papeng Batu).

Setelah ditemukannya kertas yang menggantikan posisi daun lontar dan Papan Batu sebagai tempat menulis maka nama Lontara tetap dipertahankan. Manuskrip-manuskrip atau catatan-catatan tertulis itu beraneka ragam isinya anatara lain :


1. PASENG
Paseng adalah kumpulan amanat keluarga atau orang-orang bijak yang diamanatkan turun-temurun dengan ucapan-ucapan yang dihafal, yang kemudian dicatat dalam lontara dan dijadikan semacam pusaka turun-temurun. Paseng yang demikian dipelihara dan menjadi kaidah hidup dalam masyarakat yang harus dihormati.. Bentuk pelanggaran Paseng Keluarga di atas bagi seseorang anggota keluarga maka orang itu akan dikucilkan oleh keluarganya.. Bagi orang yang tidak memperdulikan paseng dimasukkan dalam golongan ORANG YANG TAK DAPAT DITANAM BATUNYA (Bugis : Tempedding Ritaneng Batunna} dan tak boleh dijadikan keluarga.

Paseng dapat juga berupa perjajnjian atara dua pihak atau lebih yang harus ditaati. Paseng dapat juga berupa amanta sepihak kepada keluarga turun-temurun. Misalnya : (a) perjanjian Tomanurung dengan Rakyat, (b) larangan untuk mengawini keturunan bekas tuan, dan (c) mengikat persaudaraan yang kekal turun-temurun antara kaum dengan kaum yang lainnya.

2. ATTORIOLONG
Kumpulan catatan mengenai silsilah para raja, keluarga bangsawan, dan keluarga-keluarga tertentu. Attoriolong dapat diambil bahan-bahan untuk menyusun sejarah atau menyusun silsilah seseorang. Dengan demikian, Attoriolong merupakan kumpulan catatan-catatn peristiwa lalu yang dialami orang dahulu. Seperti Attoriolongna Bone yang menceritakan tentang silsilah raja Bone serta peristiwa-peristiwa yang dialaminya.

3. PAU-PAU RI KADONG
Pau-Pau ri Kadong adalah cerita rakyat yang mengandung legenda tentang berbagai kejadian atau peristiwa luar biasa, namun kebenarannya diragukan. Misalnya cerita didirikannya sebuah kerajaan. Pau-Pau ri Kadong adakalanya menggambarkan peristiwa atau kejadian-kejadian yang tak masuk akal, tetapi kejadian yang tak masuk akal tersebut dinyatakan terus terang sebelum pencerita menceritakannya. Dalam Pau-Pau ri Kadong sebagai lontara melukiskan sesuatu kisah dengan berbagai macam gaya pantastis sebagai daya tarik dan sebagi obat pelipulara dan sifatnya menghibur..

4. TOLO’ ATAU PAU-PAU
Tolo’ atau Pau-Pau sering disebut Ruaja , yaitu semacam cerita rakyat yang sudah tertulis yang biasanya menceritakan tentang tokoh yang benar-benar pernah ada. Cara penyajiannya adakalanya disertai bumbu-bumbu seperti pau-pau ri kadong tetapi lebih banyak mengandung fakta-fakta yang masuk akal, misalnya “Tolo’ Rumpa’na Bone” yang mengisahkan peperangan Bone dan tokoh-tokohnya.

5. PAPPANGAJA
Adalah kumpulan pedoman hidup atau nasihat yang diberikan oleh orang tua kepada anak keturunannya. Misalnya “Pappangaja” yang kesohor di kalangan Bugis-Makassar yang biasa disebut “Budi Istihara” semacam hikayat orang Melayu yang berasal dari kepustakaan orang Arab.

6. ULU – ADA
Yaitu manuskrip mengenai perjajnjian antar Negara atau kerajaan. Misalnya, “LamumpatuE ri Timurung” adalah Ulu-Ada atau Perjanjian anatara Bone, Wajo, dan Soppeng untuk bersama-sama menghadapi agresi kerajaan Gowa. Demikian juga perjajnjian perdamaian anatara Gowa dan VOC yang disebut “Cappa’E ri BungaE”

7. SURE’ BICARA ATTORIOLONG
Adalah kumpulan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam negeri-negeri yang berdasarkan pada adat leluhur. Jadi dapat disebut sebagai peraturan-peraturan leluhur yang ditaati berdasarkan kebijakan yang dilimpahkan oleh leluhur berupa “Ade” atau petunjuk-petunjuk yang bersifat normative dalam kehidupan masyarakat. Misalnya “Rapang ri Lalenna Bone ri Palilina Bone” yakni rapang yang berlaku di Tana Bone dan negeri-ngeri yang ditaklukkan.

8. PAU-KOTIKA
Adalah kumpulan catatan tentang waktu-waktu yang baik dan buruk untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, memberi petunjuk tentang waktu yang baik memulai mengerjakan sawah. Mendirikan rumah, dan sebagainya.

9. SURE’ EJA
Merupakan kumpulan Elong atau syair-syair atau prosa lirik yang dinyayikan pada upacara tertentu. Misalnya (a) elong-osong yaitu nyanyian perang yang dinyayikan untuk menghadapi perang (b) elong-padodo ana’ saat meninabobokkan anak (c) elong-Massagala yaitu dinyayikan untuk mengusir semacam penyakit, dan (d) elong-Kallolo yakni syair yang dipergunakan oleh kaum muda-mudi untuk saling menyindir dan merindu.

10. SURE’ BAWANG
Yaitu kumpulan cerita-cerita roman segala macam jenis. Seperti roman masyarakat, roman perang, dan sebagainya.

(Sumber Referensi : Latoa, Mattulada 1985 hal. 16-19)


Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia (Case Studies in Cultural Anthropology)The Bugis (The Peoples of South-East Asia and the Pacific)Bugis Weddings: Rituals of Social Location in Modern Indonesia (Monograph Series, Center for South and Southeast Asia Studies University of Californ)La Tinulu La Kasiasi (excerpt)Bugis: Webster's Timeline History, 1667 - 2007

Monday, June 7, 2010

Makna Peribahasa Bugis Makassar


  1. Lapa nakulle’ taue’ mabbaina narekko naulle’ni magguli-lingiwi dapurenge’ we’kka pitu. (Apabila seseorang ingin beristeri, harus sanggup mengelilingi dapur tujuh kali).

    1. Artinya: Di sini dapur merupakan perlambang dari masalah pokok data, kehidupan rumah tangga. Sedangkan tujuh kali merupakan padanan terhadap jumlah hari yang juga tujuh (Senin sampai Minggu). Maksudnya, sebelum berumah tangga harus memiliki kesanggupan memikul tanggung jawab menghidupi keluarga setiap hari.

  2. De’k nalabu essoe’ ri tenngana bitarae’. (Tak akan tenggelam matahari di tengah langit).

    1. Artinya: Manusia tidak akan mati sebelum takdirnya sampai. Oleh karena itu, keraguan harus disingkirkan dalam menghadapi segala tantangan hidup.

  3. Jagaiwi balimmu siseng mualitutui ranemmu wekka seppulo nasaba rangemmu ritu biasa mancaji bali. (Jagalah lawanmu sekali dan jagalah sekutumu sepuluh kali lipat sebab sekutu itu bisa menjadi lawan).

    1. Artinya: Terhadap lawan sikap kita sudah jelas, namun yang harus lebih diwaspadai jangan sampai ada kawan berkhianat. Sebab, lawan menjadi bertambah dan membuat posisi rentan karena yang bersangkutan mengetahui rahasia (kelemahan) kita.

  4. Lebbik-i cau-caurennge’ napellorennge’. (Lebih baik sering kalah daripada pengecut).

    1. Artinya: Orang yang sering kalah, masih memiliki semangat juang meskipun lemah dalam menghadapi tantangan. Sedangkan seorang pengecut, sama sekali tak memiliki keberanian ataupun semangat untuk berusaha menghadapi tantangan.

  5. Malai bukurupa ricau’e, mappalimbang ri maje’ ripanganroe’. (Memalukan kalau dikalahkan, mematikan kalau ditaklukkan).

    1. Artinya: Dikalahkan karena keadaan memaksa memang memalukan. Sedangkan takluk sama halnya menyerahkan seluruh harga diri, dan orang yang tidak memiliki harga diri sama halnya mati.

  6. Naiya tau malempuk-e’ manguruk manak-i tau sugi-e. (Orang jujur sewarisan dengan rang kaya).

    1. Artinya: Orang jujur tidak sutit memperoleh kepercayaan dari orang kaya karena kejujurannya.

  7. Masse’sapanga, temmase’sa api, masse’sa api temmas’esa botoreng. (Bersisa pencuri tak bersisa api, bersisa api tak barsisa penjudi).

    1. Artinya: Sepintar-pintarnya pencuri, dia tidak mampu mengambil semua barang (misalnya mengambil rumah atau tanah). Akan tetapi sebesar-besarnya kebakaran hanya mampu menghancurkan barang-barang (tanah masih utuh). Akan tetapi seorang penjudi dapat menghabiskan seluruh barang miliknya (termasuk tanah dalam waktu singkat).

  8. Mau mae’ga pabbise’na nabonngo ponglopinna te’a wa’ nalureng. (Biar banyak pendayungnya, tetapi badoh juru mudinya).

    1. Artinya: Kebahagiaan rumah tangga ditentukan oleh banyak hal, tetapi yang paling menentukan adalah kecakapan dan rasa tanggung jawab kepala rumah tangga itu sendiri.

  9. Naiya accae ripptoppoki je’kko, aggati aliri, nare’kko te’yai maredduk, mapoloi. (Kepandaian yang disertai kecurangan ibarat tiang rumah,kalau tidak tercabut ia akan patah).

    1. Artinya: Di Bugis, tiang rumah dihubungkan satu dengan yang lain menggunakan pasak. Jika pasak itu bengkok sulit masuk ke dalam lubang tiang, dan patah kalau dipaksakan. Kiasan terhadap orang pandai tetapi tidak jujur. Ilmunya tak akan mendatangkan kebaikan (berkah), bahkan dapat membawa bencana (malapetaka).

  10. Narekko mae’lokko tikkeng se’uwa olokolok sappak-i bate’lana. Narekko sappakko dalle’k sappak-i mae’gana bate’la tau. (Kalau ingin menangkap seekor binatang, carilah jejaknya. Kalau mau rezeki, carilah di mana banyak jejak manusia).

    1. Artinya: Pada hakikatnya, manusialah yang menjadi pengantar rezeki, sehingga di mana banyak manusia akan ditemui banyak rezeki.

  11. Teppettu maoompennge’, teppolo massellomoe’. (Tak akan putus yang kendur, tak akan patah yang lentur).

    1. Artinya: Peringatan agar bijaksana menghadapi suatu permasalahan. Toteransi dan tenggang rasa perlu dipupuk supaya keinginan tercapai tanpa kekerasan.

  12. Tarukie’ inapessu, padai tonangie’ lopi sebbok. (Menuruti hawa nafsu ibarat menumpang perahu bocor).

    1. Artinya: Jika menuruti hawa nafsu, lenyaplah pengendalian diri. Oleh karena itu, setiap usaha yang dilandasi hawa nafsu, yang berlebihan bisa berakhir dengan kegagalan.

  13. Rebba sipatokkong, mali siparappe’, sirui me’nre tessurui nok, malilusipakainge, maingeppi mupaja. (Rebah saling menegakkan, hanyut saling mendamparkan, saling menarik ke atas dan tidak saling menekan ke bawah, terlupa saling mengingatkan, nanti sadar atau tertolong barulah berhenti).

    1. Artinya: Pesan agar orang selalu berpijak dengan teguh dan berdiri kokoh dalam mengarungi kehidupan. Harus tolong-menolong ketika menghadapi rintangan, dan saling mengingatkan untuk menuju ke jalan yang benar. Hal itu akan akan tenwujud masyarakat yang aman dan sejahtera.

  14. Pala uragae’, tebakke’ tongennge’ teccau mae’gae’, tessie’wa siyulae’. (Berhasil tipu daya, tak akan musnah kebenaran, tak akan kalah yang banyak, tak akan berlawanan yang berpantangan).

    1. Artinya: Tipu daya, mungkin berhasil untuk sementara, tetapi kebenaran tidak akan hilang. Kebenaran akan tetap hidup bersinar terus dalam kalbu manusia karena akan ia datang dari sumber yang hakiki, yaitu Tuhan YME.

  15. Taroi telleng linoe’, tellaing pe’sonaku ri masagalae’. (Biar dunia tenggelam, tak akan berubah keyakinanku kepada Tuhan).

    1. Artinya: Apapun yang terjadi, keyakinan yang sudah dihayati kebenarannya tidak boleh bergeser, karena segala kesulitan di dunia ini hanyalah tantangan untuk menguji keimanan sescorang.

  16. Ajak mapoloi olona tauwe’. (Jangan memotong (mengambil) hak orang lain.

    1. Artinya: Memperjuangkan kehidupan adalah sesuatu yang wajar, tetapi jangan menjadikan perjuangan itu pertarungan dengan kekerasan yaitu saling merampas rezeki orang lain.

  17. Nare’kko mae’lokko made’ceng ri jama-jamammu, attanngakko ri bate’lak-e’. Ajak muolai bote’lak sigaru-garue’, tutunngi bate’lak makessinnge’ tumpukna. (Kalau mau berhasil dalam usaha atau pekerjaanmu, amatilah jejak-jejak. Jangan mengikuti jejak yang simpang siur, tetapi ikutlah jejak yang baik urutannya).

    1. Artinya: Jejak yang simpang siur adalah jejak orang yang tidak tentu arah tujuan. Jejak yang baik urutannya adalah jejak orang yang berhasil dalam kehidupan. Sukses tak dapat diraih dengan semangat saja, melainkan harus dibarengi dengan tujuan yang pasti dan jalan yang benar.

  18. Tuppui noterri, turungngi name’cawa. (Mendaki ia menangis, menurun ia tertawaun).

    1. Artinya: Setiap keadaan ada timbal baliknya. Ada dua hal yang silih berganti dalam kehidupan. Maka bersiaplah menghadapi dua kemungkinan itu. Jangan takabur ( sombong) jika sedang merasakan kebahagiaan, karena nanti akan merasakan kesedihan juga. Demikian pula sebaliknya, jangan terlampau bersedih jika dirundung malang, karena dari situlah proses terjadinya kebahagiaan bakal dimulai.

  19. Manyumui mellekmu tabbelle barrek, iami napitakko manuk. (Berhati-hatilah dengan hasratmu, kelak tertumpah bagaikan beras lalu engkau dicotok ayam).

    1. Artinya: Memperlihatkan hasrat yang berlebihan sama halnya menunjukkan kepribadian yang lemah. Dengan menampakkan kelemahan berarti membuka peluang bagi orang yang bermaksud jahat melaksanakan niatnya.

  20. Ia de’ce’nnge’ mabuang tassanrama. (Kebaikan itu meski pun jatuh tersangkut jua).

    1. Artinya: Kebaikan kadang tertutup oleh gelapnya keadaan. Akan tetapi su atu saat akan tampak dalam nurani manusia yang mencintai kebaikan.

  21. Side’ce’ng-de’ce’nna ado de’k-e’ riolona, engka rimumnri. Sijakna ada engka riolona de’k-e’ rimunri. (Sebaik-baiknya bicara ialah yang kurang komentar tetapi didukung oleh kenyataan. Seburuk-buruk bicara adalah yang banyak komentar tetapi tidak didukung oleh kenyataan).

    1. Artinya: Sedikit bicara tetapi banyak kerja lebih baik daripada banyak bicara tetapi tidak bekerja.

  22. Unga tabbakkae’ ri subue’ nare’kko nompokni essoe’ pajani baunna. (Kembang mekar di waktu subuh, di kala matahari terbit baunya pun hilang).

    1. Artinya: Jangan langsung percaya atau gembira mendengar berita atau janji yang muluk-muluk, sebab berita tersebut mungkin saja tidak sesuai dengan kenyaataan.

  23. Cecreng Ponna, kella-kella tenngana, sapuripalek cappakna. (Serakah awalnya, tamak pertengahannya, licin tandas akhirnya).

    1. Artinya: Sejauh keserakahan bertambah, sejauh itu pula menghanyutkan yang baik dan akan berakhir dengan kehancuran.

  24. Sadda mappabati’ ada, ada mappabati’ gau, gau’ mappabati’ tau. (Bunyi mewujudkan kata, kata menandakan perbuatan, perbuatan menunjukkan manusia).

    1. Artinya: Kedudukan dan peranan orang Bugis lebih ditentukan oleh perbuatan daripada nama yang bersangkutan. Dengan kata lain, kata dan perbuatan seseorang akan menentukan derajat nilai seseorang dalam masyarakat.

  25. Iyya nanigesara’ ada’ ‘biyasana buttaya tammattikamo balloka, tanaikatonganngamo jukuka, annyalotongi ase’yo. (Jika dirusak adat kebiasaan negeri maka tuak berhenti menitik, ikan menghilang pula, dan padi pun tidak menjadi).

    1. Artinya: Jika adat dilanggar berarti melanggar kehidupan manusia. Akibatnya bukan hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga oleh seluruh anggota masyarakat, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan alam semesta.

  26. Pura babbara’ sompekku, pura tangkisi’ golikku, ulebbirenni tellennge’ nato’walie’. (Layarku sudah berkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali).

    1. Artinya: Semangat yang mengandung makna kehati-hatian dan didasarkan atas acca (mendahulukan pertimbangan yang matang). Pelaut Bugis tak akan berlayar sebelum tiang, jangkar, serta tali-temali diperiksa cermat dan teliti. Di samping itu juga memperhatikan waktu dan musim yang tepat untuk berlayar. Setelah segala sesuatunya meyakinkan, barulah berlayar.

  27. Alai cedde’e risesena engkai mappedeceng, sampeanngi maegae risesena engkai maega makkasolang. (Ambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, tolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan kebinasaan).

    1. Artinya: Mengambil sesuatu dari tempatnya dan meletakkan sesuatu pada tempatnya, termasuk perbuatan mappasitinaja (kepatutan). Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak yang sepadan merupakan suatu perlakuan yang patut. Banyak atau sedikit tidak dipersoalkan oleh kepatutan, kepantasan, dan kelayakan.

  28. Balanca manemmui waramparammu, abbeneng anemmui, iakia aja’ mupalaowi moodala’mu enrennge’ bagelabamu. (Boleh engkau belanjakan harta bendamu, dan pakai untuk beristri, namun janganlah sampai kamu menghabiskan modal dan labamu).

    1. Artinya: Peringatan pada para pedagang (pengusaha) agar dalam menggunakan harta tidak berlebihan sehingga kehabisan modal dan membangkrutkan usahanya.

  29. Siri’e’ mi rionrowong ri-lino. (Hanya untuk siri’itu sajalah kita tinggal di dunia).

    1. Artinya: Dalam pepatah ini ditekankan bahwa siri’ sebagai identitas sosial dan martabat pada orang Bugis, dan jika memiliki martabat itulah, hidup menjadi berarti.

  30. Ade’e’ temmakke-anak’ temmakke’-e’po. (Adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu).

    1. Artinya: Dalam menjalankan norma-norma adat tidak boleh pilih kasih (tak pandang bulu). Misalnya, anak sendiri jelas-jelas melakukan pelanggaran, maka harus dikenakan sanksi (hukumman) sesuai ketentuan adat yang berlaku.

  31. Ka-antu jekkongan kammai batu nibuanga naung rilikua; na-antu lambu suka kammai bulo ammawanga ri je’ne’ka, nuassakangi poko’na ammumbai appa’na, nuasakangi appa’na ammumbai poko’na. (kecurangan itu sama dengan batu yang dibuang kedalam lubuk; sedangkan kejujuran laksana bambu yang terapung di air, engkau tekan pangkalnya maka ujungnya timbul, engkau tekan ujungnya maka pangkalnya timbul).

    1. Artinya: Kecurangan mudah disembunyikan, namun kejujuran akan senantiasa tampak dan muncul ke permukaan.

  32. Mattulu’ perejo te’pe’ttu siranrang, padapi mape’ettu iya. (Terjalin laksana tali pengikat batang bajak pada luku yang selalu bertautan, tak akan putus sebelum putus ketiganya)

    1. Artinya: Ungkapan ini melambangkan eratnya persahabatan. Masing-masing saling mempererat dan memperkuat, sehingga tidak putus jalinannya. Apabila putus satu, maka semua putus.

  33. Naia riyasennge’ pannawanawa, mapaccingi riatinna, sappai rinawanawanna, nalolongenngi sininna adae’ enrenge’ gau’e’ napolei’ ja’ enrenge’ napolei’ de’ceng. (Cendekiawan (pannawanawa) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari samapai dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapi demikian pula perbuatan yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan).

    1. Artinya: Ungkapan ini menggambarkan posisi orang pandai di masyarakatnya.

  34. Aja’ mumatebek ada, apak iyatu adae’ mae’ga bettawanna. Muatutuiwi lilamu, apak iya lilae’ pawere’-were’.(Jangan banyak bicara, sebab bicara itu banyak artinya. Jaga lidahmu, sebab lidah itu sering mengiris).

    1. Artinya: Peringatan agar setiap orang selalu menjaga kata-kata yang diucapkan jangan sampai menyakiti hati orang lain.

  35. Aju malurue’mi riala parewa bola. (Hanyalah kayu yang lurus dijadikan ramuan rumah).

    1. Artinya: Rumah sebagai perlambang dad pemimpin yang melindungi rakyat. Hanya orang yang memiliki sitat jujur yang layak dijadikan pemimpin, agar yang bersangkutan dapat menjalankan fungsi perannya dengan baik.

  36. Duwa laleng tempekding riola, iyanaritu lalenna passarie’ enrennge’ lalenna. Paggollae’. (Dua cara tak dapat ditiru, ialah cara penyadap enau dan cara pembuat gula merah).

    1. Artinya: Jalan yang ditempuh penyadap enau tidak tentu, kadang dari pohon ke pohon lain melalui pelepah atau semak belukar, sehingga dikiaskan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Pembuat gula merah umumnya talk menghiraukan kebersihan, lantaran itu hanya tak diketahui orang.

The Bugis (The Peoples of South-East Asia and the Pacific)
Bugis Navigation (Yale Southeast Asia Studies Monograph Series, No 48)


.