Wednesday, December 28, 2011

Napoleon Bonaparte turunan Makassar

Oleh: Achmadi Parandangi
Alkisah, I Yandulu Daeng Mangalle, salah satu putra atau pengeran keturunan Sultan Hasannudin, setelah dikalahkan Belanda pergi keSiam dan meminta suaka kepada Raja Siam (sekarang Thailand). Permintaan suaka tersebut dikabulkan oleh Raja Siam yakni Raja Narai. Bukan hanya diberi suaka, pangeran Daeng Mangalle beserta para pengikutnya ini diberikan tempat di ibukota raja yang kelak dikenal sebagai Makkasan. Baru-baru ini, kisa Daeng Mangalle ditulis di harian kompas beberapa hari yang lalu.
Tak lama kemudian, Daeng Mangalle bersama adik raja terlibat rencana pemberontakan untuk menjatuhkan tahta Raja Narai. Sayang rencana ini keburu bocor, dan rencana pemberontakan pun dibatalkan. Meskipun demikian, Daeng Mangalle dan Adik Raja Narai diampuni diampuni oleh sang raja.
Rupanya, Daeng Mangalle tak menyerah begitusaja, masih berkobar dalam dirinya niat untuk melakukan pemberontakan. Ia kembali terlibat persekongkolan dengan dua pangeran Champa yang kebetulan juga tengah mendapatkan suaka dari Raja Narai di negeri Siam.
Mereka bersekongkol untuk kembali menjatuhkan Raja Narai dan kemudian akan menyerahkan tahta kepada sang Adik Raja Narai. Sebab, para pangeran penerima suaka ini menyadari jika tahta kerajaaan dipegang kepada adik raja, maka sesungguhnya secara defacto merekalah yang menguasai kerajaan. Sayang, adik raja ini entah tidak berminat dan membocorkan rencana ini kepada Raja.
Mendengar rencana kudeta ini, kerajaan sudah siap dengan pasukannya. Sehingga, sebagian besar pendukung kudeta kembali meminta ampun menyatakan setia kepada Raja.
Daeng Mangalle tidak meminta ampun, sehingga ia dan ratusan pengikutnya dihancurkan oleh pasukan Raja. Meskipun tumpas, jumlah mereka jauh lebih sedikit ternyata dapat membuat repot ribuan pasukan Siam. Akhirnya, sikap gagah berani yang mereka perlihatkan membuat tentara kerajaan dan tentara asing yang disewa oleh Kerajaan Siam angkat topi.
Dua putra I Yandullu Daeng Mangalle diampuni Raja Siam dan dibawa oleh Kapten tentara Perancis menghadap raja dan menetap di Perancis. Kedua putra Daeng Mangalle yakni Daeng Tulolo dan Daeng Ruru kemudian dikirim ke sekolah akademi tentara di perancis. Daeng Ruru kemudian berganti nama menjadi Louis Pierre de Macassart, sementara Daeng Tulolo menjadi Louis Dauphin. Mereka dibaptis tanggal 7 Maret 1687 oleh uskup kota Le Mans dengan ayah baptis Raja Louis.
Mereka inilah kakek moyangnya si Napoleon. Dan, itulah sebabnya, Napoleon itu kecil dan tidak tinggi. Juga, menurut buku ini kedua cucu Sultan Hasannudin itulah yang mengenalkan Perancis dengan binatang kesayangan ayam jago. Sama persis dengan ayam jagonya Sultan Hasannudin.

Akhir Hayat Napoleon Bonaparte Sebagai Muslim





Seorang teman kompasioner Iwan Nurdin pernah menulis dengan judul sangat menarik, “Napoleon Bonaparte Keturunan Makassar” . Dalam tulisan itu diceritakan bahwa Napoleon adalah keturunan Sultan Hasanudin. Konon cucu sang Sultan bernama Daeng Ruru (Louis Pierre de Macassart ) dan Daeng Tulolo ( Louis Dauphin ), yang dibawa tentara Perancis dan kemudian menetap di sana, inilah yang menjadi moyangnya Napoleon. wajar kalau posturnya kecil dan tidak setinggi rata-rata orang Eropa.
Informasi lain yang cukup menarik adalah tentang agama si Napoleon di akhir hayatnya yang memeluk agama Islam. Mungkin ini juga dapat menjadi petunjuk tentang leluhurnya di Makassar. Informasi ini pernah saya temukan di internet tapi lupa di situs apa. Silahkan teman-teman menelusurinya lagi untuk mengetahui seberapa valid informasi ini. Inilah informasi yang pernah saya temukan itu.
Siapa yang tidak mengenal Napoleon Bonaparte, seorang Jendral dan Kaisar Prancis
yang terkenal kelahiran Ajaccio, Corsica 1769. Namanya terdapat dalam urutan ke-34 dari
Seratus tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah yang ditulis oleh Michael H. Hart.
Buku ini juga menempatkan Nabi Muhamad di urutan pertama.
Sebagai seorang yang berkuasa dan berdaulat penuh terhadap Negara Prancis sejak
Agustus 1793, seharusnya ia merasa puas dengan segala apa yang telah diperolehnya itu.
Tapi rupanya kemegahan dunia belum bisa memuaskan batinnya, agama yang
dianutnya waktu itu ternyata tidak bisa membuat Napoleon Bonaparte merasa tenang dan
damai. Akhirnya pada tanggal 02 Juli 1798, 23 tahun sebelum kematiannya ditahun 1821,
Napoleon Bonaparte menyatakan ke-Islamannya dihadapan dunia Internasional.
Apa yang membuat Napoleon ini lebih memilih Islam?
Berikut penuturannya sendiri yang pernah dimuat dimajalah Genuine Islam, edisi Oktober
1936 terbitan Singapura. Di antaranya Napoleon Bonaparte berkata :
“Saya lebih meyakini agama yang dibawa oleh Muhammad. Islam terhindar jauh dari
kelucuan-kelucuan ritual seperti yang terdapat didalam agama kita. Bangsa Turki juga
menyebut kita sebagai orang-orang penyembah berhala dan dewa.”
Selanjutnya ia berkata :
“Surely, I have told you on different occations and I have intimated to you by various
discourses that I am a Unitarian Musselman and I glorify the prophet Muhammad and that I
love the Musselmans.”
( “Dengan penuh kepastian saya telah mengatakan kepada anda semua pada kesempatan
yang berbeda, dan saya harus memperjelas lagi kepada anda disetiap ceramah, bahwa
saya adalah seorang Muslim, dan saya memuliakan nabi Muhammad serta mencintai
orang-orang Islam.” )
Akhirnya ia berkata :
“In the name of God the Merciful, the Compassionate. There is no god but God, He has no
son and He reigns without a partner.”
( “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tiada Tuhan selain
Allah. Ia tidak beranak dan Ia mengatur segala makhlukNya tanpa pendamping.” )
Benarkah informasi ini? Wallahu a’lam. Yang pasti teman-teman Muslim tidak usah GR dengan Kemusliman Napoleon dan teman-teman Kristiani tidak perlu tersinggung dengan informasi ini. Yang pasti dan dapat kita akui bersama bahwa Napoleon merupakan salah satu orang besar yang pernah ada di muka bumi ini, khususnya bagi Perancis dan Amerika Serikat.
Amerika Serikat menjadi sebuah Negara berukuran benua berkat jasa Napoleon, meski tidak secara langsung. Hal ini dikarenakan keputusannya untuk menjual sebagian wilayah kekuasaannya di Lousiana kepada Amerika Serikat. Mengingat daerah ini sulit dilindungi dari kemungkinan serangan dari Inggris, musuh bebuyutannya. Hebatnya, penawaran Perancis untuk menjual wilayahnya itu dilakukan seorang diri Napoleon. Inilah mengapa Michael H. Hart memposisikannya pada peringkat ke 34 sebagai tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah.

Daeng Mangalle Tokoh Pembangkang Raja Siam Phra Narai (1686)

Kisah ini sendiri diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis, yang dikirim ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja Louis XIV, dengan misi yang amat ambisius dalam hal politik, agama, ilmu pengetahuan dan ekonomi. 

Tahun 1658 - 1659 Phra Narai, raja Siam tercatat memberikan daerah 
pengungsian bagi 773 orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat 
dan berikutnya pada Tahun 1664, 250 orang (pria, wanita dan anak-anak) 
tiba dari Makassar dan diberikan hak dan membangun komunitas 
perkampungan bersebelahan dengan orang-orang Melayu yang sudah lebih 
dulu menetap. 

Akan tetapi keadaan yang damai dan harmonis di Siam waktu itu tidak 
berlangsung lama, karena seringnya terjadi intrik dan perebutan 
kekuasan dalam lingkungan keluarga dan kerabat istana. Tidak 
terkecuali Phra Narai dulunya juga adalah seorang yang merebut 
kekuasaan dengan cara kekerasan dan berdarah, sehingga ia sadar betul 
bahwa kekuasaanya tidak berakar dan tidak kuat dukungannya sehingga ia 
akan gampang pula digulingkan, karena itulah ia mempercayakan 
pertahanan kerajaannya pada serdadu Prancis yang kala itu sedang 
berada di Siam atas perintah Raja Prancis. Serdadu Prancis dipimpin 
oleh Claude de Forbin dengan 6 kapal dan satu detasemen militer yang 
beranggotakan 636 orang. 

Adalah seorang pangeran Makassar bernama Daeng Mangalle yang rupanya 
terlibat dengan konspirasi Melayu, Campa, Makassar dan orang Islam 
lain di Siam, konspirasi ini akan berencana menyerang istana dan 
membunuh raja Siam Phra Narai, karena Raja dianggap telah melenceng 
yaitu menempatkan kepercayaan pada orang asing yaitu Prancis dan Misi 
orang asing mengembangkan agama baru kemungkinan lebih buruk lagi Raja 
akan berpindah memeluk agama baru. 

Rupanya konspirasi ini sudah tercium sang raja, sehingga dengan cepat 
Phra Narai memperkuat pertahanan istananya dengan menempatkan pasukan 
Prancis tersebut serta meminta dukungan dari orang asing lainnya. 
Daeng Mangalle menolak meminta pengampunan dari Raja dan menyangkal 
keterlibatannya dalam persekongkolan tersebut. 

Karena menolak akhirnya raja memerintahkan Forbin untuk mengepung 
kapal-2 orang Makassar yang berniat meninggalkan Siam. 
Kontak senjata pertama terjadi 40 orang Makassar menghadapi serdadu 
Prancis dan Portugis dimana orang-2 Makassar menyerang mereka dengan 
mengerikan mengejar pasukan Prancis dan Portugis sejengkal demi 
sejengkal tanah yang dilewati menjadi ladang pembantian, wanita, 
anak-anak semua dibunuh tanpa kecuali. Enam orang Makassar menyerang 
Pagoda dan membunuh biawarawan disana, tercatat pasukan Eropa-Siam 
kehilangan 366 orang dan belum lagi korban penduduk sipil. 

Kontak kedua terjadi lagi saat tanggal 23 September 1686, raja 
memerintahkan serangan besar2-an ke perkampungan orang Makassar. 
Akhirnya prinsip orang Bugis Makassar menghadapi tantangan "sekali 
layar berkembang pantang surut kebelakang" menyadari bahwa sudah tidak 
ada kemungkin lain selain bertempur sampai mati, banyak diantara 
mereka membunuh istri dan anak-anaknya untuk menghindari penjara dan 
perbudakan. Beberapa kali pasukan Siam harus mundur menghadapi 
perlawanan orang Makassar yang sangat berani dan nekat. 
Daeng Mangalle sendiri terluka dengan lima tusukan tombak dan setelah 
tangannya tertembak langsung menerjang menteri Siam dan membunuh 
seorang Inggris. 

Demikianlah akhir dari pertempuran itu 22 orang Makassar akhirnya 
menyerah dan 33 orang prajurit Makassar dikumpulkan. Perlaakuan 
terhadap orang Makassar yang tersisa sungguh tak terperikan kejamnya, 
ada yang dikubur hidup-2 berdiri sampai leher dan mati setelah 
diperlakukan dan di cemohkan dan dinakan benar-benar tanpa belas kasihan. 

Peristiwa di Siam ini benar-benar membuat penduduk setempat kagum akan 
keberanian kenekatan orang-orang Makassar menghadapi tentara yang 
berjumlah ribuan dengan senjata lebih lengkap sementara orang Makassar 
hanya bersenjatakan tombak dan badik, selama pertempuran itu 1000 
orang siam dan 17 orang asing tewas mengenaskan.

Buku: Orang Indonesia & Orang Prancis, dari abad XVI sampai 
dengan abad XX, karya Bernard Dorleans 

Bernard Dorleans, sejarawan Perancis, mengumpulkan catatan 
itu dalam buku 'Orang Indonesia dan Orang Perancis' (Edisi bahasa Indonesia, 
KPG, 2006). Ia merujuk pada artikel Christian Pelras di majalah Archipel pada 
1997. Kisah ini terjadi pada masa pemerintahan Louis XIV dan Louis XV 
(1686-1736). Pada abad XVII masih sedikit orang Perancis yang pergi ke Makassar. 

Uraiannya begini: 

Keluarga kerajaan memiliki tradisi mengirim pangeran muda untuk melengkapi 
pendidikan, militer khususnya, pada umur lima atau enam tahun hingga masa 
remaja. Tersebutlah dua pangeran, Daeng Ruru, 15 tahun dan Daeng Tullolo, 16 
tahun. Mereka dua pangeran yang selamat dalam pertempuran di Siam, 
ketika Daen Ma-Alee (Daeng Mangalle), pangeran Makassar yang hidup dalam 
pengasingan di Siam, seorang muslim, dituduh bersekongkol melawan 
Raja Siam dan tewas saat pertempuran pada 1686. 

Kepala kantor dagang Perancis di Siam memutuskan untuk mengirimkan Daeng Ruru 
dan Daeng Tullolo ke Perancis. Mereka naik kapal Coche pada akhir November 1686, 
tiba di Brest 15 Agustus 1687, dan baru berlabuh di Paris pada 10 September. 
Louis XIV merasa tidak hanya wajib memenuhi kebutu*an hidup mereka, tapi juga 
mengurusi pendidikan mereka dengan alasan kelas sosial kedua pangeran itu. 

Kedua pemuda muslim itu dibaptis dalam agama Kristen dan diberi nama kehormatan 
Louis bak raja Perancis. Mereka didaftarkan masuk ke kolese jesuit di Louis 
le-Grand untuk belajar bahasa Perancis sebelum masuk ke sekolah tinggi Clermont 
yang kondang. Lantas mereka diterima di institut paling bergengsi, yakni sekolah 
perwira angkatan laut Brest pada 1682. Seleksi untuk masuk ke situ sangat ketat. 
Kelak, sekolah itu menjadi cikal bakal sekolah marinir tertinggi di Perancis. 

Daeng Ruru muda mendapat promosi amat cepat. Lulus sebagai perwira hanya dalam 
waktu dua tahun. Usianya 19 tahun saat menyandang pangkat letnan muda, setara 
letnan di angkatan darat. Usia 20, menyandang letnan, setara kapten di angkatan 
darat. 

Konon untuk mencapai prestasi gemilang macam itu, orang harus cerdas dan 
berharta. Daeng Ruru berhasil karena itu. Tapi anehnya, pada 1706, Louis Pierre 
Makassar (Daeng Ruru) tak diajak ikut dalam operasi angkatan laut ketika itu. Ia 
mengirim surat keluhan kepada de Pontchartain, menteri kelautan kerajaan. 
Protes. 

Pada 3 Januari 1707, Daeng Ruru bertugas di kapal Jason. Bersenjatakan 54 
meriam, dengan tugas memburu kapal serang Belanda, Vlisingen yang menyerang 
kawasan laut Belle-ille dan ille de Croix. Tak lama kemudian, Daeng bertugas di 
kapal Grand yang ke Havana, membantu Spanyol bertempur melawan Inggris. Pada 19 
Mei 1708, Daeng Ruru tewas: entah karena masalah kehormatan atau perkara utang 
judi. 

Lain lagi cerita, Daeng Tulolo alias Louis Dauphin Makassar. Ada kisah aneh 
tentangnya, seperti diungkapkan kamus Moreri: Salah satu dari kedua bersaudara 
itu tewas ketika mengabdi kepada raja. Dia yang bertahan hidup, setelah 
mengetahui kematian sepupunya, pulang dari Perancis untuk mengambilalih takhta 
nenek moyangnya dan raja mengijinkan naik kapal. 

Ia terlihat amat tekun menjalankan agama Katholik dan bahkan sebelum 
meninggalkan Perancis, ia membuat suatu gambar yang sepertinya dipersembahkan 
untuk perawan suci, Maria. Ia mendirikan ordo yang disebut 'Bintang'. Para 
satria dalam ordo itu harus mengenakan pita putih yang diletakkan di bawah 
perlindungan Bunda Maria. Gambar itu diletakkan dalam gereja Notre Dame, tapi 
beberapa tahun kemudian gambar itu diturunkan setelah orang tahu kalau pangeran 
itu telah memeluk agama nenek moyangnya, Islam, dengan alasan poligami.' 

Kenaikan pangkat Daeng Tullolo lebih lambat dari abangnya. Ia lulus sekolah 
angkatan laut pada 18 Mei 1699 tetapi menunggu 13 tahun sebelum jadi letnan muda 
pada usia 38 tahun. Pangkat itu disandangnya seumur hidup. 

Ia sempat bertugas di kapal India. Ketika ia meninggal di Bres 30 November 1736 
pada usia 62 tahun, ia dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan 
dengan dihadiri beberapa perwira angkatan laut. Ia dikubur dalam gereja Louis de 
Brest. Jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat perang dunia II.

Sunday, December 4, 2011

Diaspora Bugis Makassar di Negeri Rantau

Oleh: Idham Malik

Dari sekian suku di Nusantara, Bugis-Makassarlah yang selalu menjadi representasi suku perantau, tentu dengan mengandalkan kemampuannya dalam mengarungi samudera. Semboyan “sekali layar terkembang, pantang biduk surut ke pantai” begitu merasuk ke dalam jiwa masyarakat Bugis-Makassar (BM), sehingga mereka pun selalu dapat berhasil tiba di tujuan. Tak ada kata menyerah, rasa malu atau siriq’ meresap dan menjadi lokomotor penggerak jiwa Bugis Makassar (BM) untuk selalu berjuang hingga titik darah penghabisan.

Banyak alasan yang membuat masyarakat BM melakukan perantauan. Jika ditengok ke belakang, pelayaran dan penjelajahan ke negeri seberang sudah menjadi tradisi kuno, bahkan telah menjelma dalam prilaku asli Bugis-Makassar. Sebut saja kisah armada Sriwijaya pada abad ke-7 M yang dapat mengarungi samudra hingga ke Madagaskar dan negeri-negeri jauh untuk membawa emas dari Swarnadwipa (Sumatera). Atau kisah para pelaut asing yang membantu kekaisaran Cina masa lampau untuk menjajakan hasil bumi dan peradabannya tersebar ke seantaro bumi, serta kisah munculnya pelaut ulung di negeri Srilangka yang berbadan kekar. Ke semua kisah itu, tak lain dilakoni oleh para pelaut ulung Bugis dan Makassar.

Tradisi di atas pun menjadi salah satu faktor penunjang mentalitas masyarakat Bugis-Makassar, yang menekankan bahwa salah satu fase hidup manusia BM adalah merantau. Dengan merantau, laki-laki Bugis-Makassar dapat meresapi arti hidup yang sebenarnya. Ia pun mendapatkan kedewasaan dalam perantauannya. Selain itu, mereka juga selalu mengimpikan kebebasan dan kejayaan, serta hayalan tentang kesatriaan dan negeri baru yang menawarkan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Alasan pendorong yang lain disebabkan oleh kekacauan di daerah asal akibat perang. Peperangan lokal yang terjadi pada abad ke-16 hingga ke-18 secara tidak langsung membuat sebagian dari warga BM membulatkan tekad untuk merantau demi menemukan kembali harga diri dengan melawan penindasan, ataupun memperoleh ketenangan dan kedamaian di negeri seberang. Selain itu,

Rasa malu (siri’) akibat menderita kekalahan perang menyebabkan mereka meninggalkan negeri asal untuk mengambil kembali martabatnya dengan berbuat baik di negeri rantau. Kekalahan di daerah asal menyebabkan harga diri jatuh pada titik nadir, sehingga untuk memulihkan siri’ mereka terpaksa harus mengarungi samudra yang luas itu. Untuk orang Bugis-Makassar, tidak ada tujuan atau alasan hidup yang lebih tinggi daripada menjaga siri’ nya, sehingga kalau mereka merasa tersinggung atau ripakasiri’ atau dipermalukan, mereka lebih senang mati dengan perkelahian untuk memulihkan siri’nya daripada hidup tanpa siri’. Meninggal untuk menjaga siri’ dalam alam berfikir orang Bugis Makassar bak mati yang diberi gula dan santan (mate rigollai, mate risantangi).

Setelah dikalahkan oleh VOC Belanda pada abad ke-17 silam itu, warga Bugis-Makassar tersebar ke berbagai tanah rantau dengan dipimpin oleh bangsawan-bangsawannya. Misalnya, Laksamana Karaeng Bontomarannu dan Laksamana Muda Karaeng Galesong melarikan diri ke Jawa untuk membantu pasukan Trunojoyo yang berperang melawan Belanda dan Mataram. Sementara adik Sultan Hasanuddin, Daeng Mangelle yang mulanya menyingkir ke Jawa lalu pada 1664 merantau dan menetap di Ayuthia, Siam dengan ditemani 60 keluarga Makassar. Hingga pada akhirnya pasukan Daeng Mangelle yang jumlahnya sekira 500-an harus menegakkan siri’ dengan melakukan pertempuran hingga titik darah penghabisan dengan pasukan Siam bergabung dengan Perancis, Inggris dan Portugis yang jumlah total pasukan hingga 10.000 tentara.

Orang-orang Bugis banyak menempati daerah rantau seperti Samarinda, Pegatan, Bima, Kalimantan Barat, Riau,Tumase’ (Singapura),Johor, mereka pun dipimpin oleh para Matoa dagang. Sementara orang Makassar diperkirakan ke daerah-daerah yang pernah ditaklukkan oleh Gowa pada permulaan abad ke-17, yaitu Bima, Sumbawa, Banggai, Timor, Sumba, Dompu, Sanggar, Kutai, Berau, Buton, Muna, Bungku, Solor, Tedak, Manggarai, Limboto, Gorontalo, Tondano dan Sangir, Buru, Tobea dan Bebe. Diperkirakan yang terbanyak dituju ialah Bima dan Sumbawa, karena sejak tahun 1618 terjadi kawin-mawin antara orang Makassar, Bugis dan orang-orang Sumbawa dan Bima.

Kiprah Bugis Makassar di Negeri Melayu
Bukti kesohoran masyarakat Bugis-Makassar terekam jelas dalam kisah-kisah kepahlawanan kerajaan Johor, serta kerajaan Melayu lainnya. Warga BM tidak hanya menjadi pelaut dan pedagang yang ulung, tapi juga selalu berhasil menarik hati penguasa daerah setempat untuk senantiasa bekerjasama dalam mempertahankan kedudukan kerajaan. Para perantau itu pun bak dewa penolong kerajaan yang sudah hampir runtuh, mereka menjelma menjadi kesatria gagah berani, yang selalu memenangkan peperangan. Dengan begitu, kerajaan-kerajaan Melayu kembali tegak, sedangkan warga BM mendapat posisi terhormat dan sangat dibanggakan oleh masyarakat setempat. Ya, jejak kegesitan, keuletan, atau pun kejujuran warga perantauan itu tampak jelas dalam khasanah sejarah bangsa Melayu.

Dalam buku Tuhfat Al-Nafis karya Raja Ali Al-Haji berkisah banyak tentang kekesatriaan pelaut-pelaut Bugis-Makassar dalam membantu membentuk kerajaan-kerajaan Riau pada akhir abad pertengahan. Disebut dalam karya itu bahwa pada masa pemerintahan pemerintahan Mansur Shah tahun 1440 M, Malaka diserang armada kuat yang datang dari Makassar. Setelah kedatangan armada Makassar kali itu, kontak antar kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaka dengan Kerajaan Gowa kian erat. Sebagai tanda persahabatan, Raja Johor Sultan Mansur Shah mengirim ke Gowa beberapa bingkisan sebagai hadiah. Lalu dibalas oleh Raja Gowa dengan mengirim seorang bangsawan bernama Daeng Mampawa, yang kemudian hari dikenal sebagai panglima perang yang disegani, bergelar Laksamana Hang Tuah.

Pada abad ke-17 merupakan masa kedatangan orang Bugis 5 bersaudara; Upu Daeng Parani, Upu Daeng Manambong, Upu Daeng Marewa, Upu Daeng Cellaq, dan Upu Daeng Kemasi. Kelima bangsawan Bugis ini berhasil menghalau Raja Kecil dari Minang yang telah mengkudeta Sultan Riau. Lantaran kesuksesannya itu, para bangsawan Bugis digelari Raja Muda yang selanjutnya kawin-mawin di tanah Melayu.

Namun, kehidupan masyarakat Bugis Makassar di negeri rantau tidak selamanya mulus. Mereka tampaknya ditakdirkan untuk menjadi dewa penolong bagi Negara yang lagi kacau balau, namun segera dikucilkan setelah negeri tersebut aman. Pengusiran ini dipelopori oleh Belanda dan Britis. Dr. Hamid Abdullah dalam “Dinamika Bugis-Makassar”, menuturkan soal kedatangan imigran Bugis-Makassar ke Tanah Linggi, Malaka. Linggi berasal dari nama bahagian buritan kapal (perahu Bugis) dan nama itu dipakai seterusnya dalam upaya membuka lahan pemukiman yang baru. Daerah linggi ini pun dengan cepat dianggap sebagai pemukiman harapan, migrasi Bugis-Makassar ke Daerah Linggi sebagai akibat langsung dari terusirnya mereka dari kesultanan Riau. Pengusiran yang sistematis itu sebagai akibat masuknya pemerintah colonial Belanda yang berkalaborasi dengan Kesultanan Riau. Pada 10 November 1784 disusun perjanjian antara kerajaan Johor dengan pemerintah Belanda yang diberi nama “Tractaat van Altoos Durende, Getrouwe Vriend end Bondgenoctschap”. Perjanjian tersebut berisi aturan yang mewajibkan warga Riau asli memegang jabatan di Kesultanan, sehingga berakibat fatal bagi posisi Bugis-
Makassar dalam dunia politik Kerajaan Johor.

Pengusiran itu bukan menjadi halangan bagi Bugis-Makassar untuk merebut kembali martabatnya. Mereka kembali mengarungi lautan, menerobos sungai, merambah dan membuka hutan untuk pemukiman baru. Semangat juang mereka tak surut, dan justru tambah bersemangat. Orang Bugis-Makassar menyulap kawasan hutan lebat menjadi tanah pertanian yang subur. Sungai Ujong di pinggir hutan Linggi dibersihkan dan dibuka untuk lalu lintas perdagangan. Kian lama pelayaran rakyat melewati alur Sungai Ujong kian ramai dan menjadikan Linggi sebagai salah satu kawasan penting. Sehingga pada awal abad ke-19 Linggi menjelma menjadi daerah otonomi yang luas sedangkan orang Bugis-Makassar pun telah memiliki struktur pemerintahan lokal tersendiri. Tentunya, perinsip siri’ dan pace lah yang terus membakar semangat mereka, sehingga tidak jatuh mental ketika terusir dari kesultanan Riau.
Keterlibatan masyarakat Bugis-Makassar dalam kerajaan-kerajaan di Semenanjung Melayu tampak cukup pelik. Mereka dengan terpaksa ikut terlibat perang, hiruk pikuk dalam memperebutkan kekuasaan dan mahkota kerajaan Riau, Johor, Pahang, Kedah dan Selangor. Aktivitas berupa intrik politik, komplot, skandal adalah peristiwa yang berulang setiap saat, yang kadang mengambil korban keluarga sendiri. Seringkali pula mereka dijebak untuk memihak pada salah satu golongan, sehingga membuat kelompok mereka terpecah-pecah. Sehingga anak keturunan Bugis-Makassar saling bersitegang karena berbeda keberpihakan.

Kekesatrian masyarakat yang lahir dari keyakinan mendalam pada filosofi siri’ na pacce tampak pada kesetiaan dan loyalitas yang tinggi terhadap kepercayaan raja di negeri rantau. Mereka pun dengan lantang mengucapkan sumpah setia, seperti yang ditunjukkan Upu Kelana Jaya Putera yang saat itu hendak diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda yang akan memerintah Riau, Pahang dan Johor. Sumpah setia itu dikenal dengan tradisi Mangaruq (Bugis), angngaruq (Makassar) di hadapan Yang Dipertuan Besar Sultan Upu Kelana Jaya Putera sembari berteriak: “Yakinlah Sultan Badru’l Alam Shah, akulah Yang Dipertuan Muda yang memerintah kerajaanmu! Barang tiada suka membujur di hadapanmu, aku lentang! Dan barang yang tiada suka melintang di hadapanmu, kubujurkan! Barang yang semak berduri di hadapanmu aku cucikan”. Sumpah setia ini adalah bekal yang dibawa mereka dari tanah asalnya, Bugis dan Makassar.

Peranan Bugis dalam Politik Malaysia
Semenjak abad ke-18, pemerintahan negeri Johor banyak bergantung kepada kepahlawanan orang-orang Bugis, yang terkenal dengan keberaniannya dalam berperang. Meski negeri Johor pernah dibawahi oleh Raja dari Sumatera pada 1718-1722, tapi dengan dukungan masyarakat Bugis, Sultan Johor kembali menegakkan kedaulatannya. Sejak saat itu, pahlawan-pahlawan Bugis mempunyai pengaruh dan memainkan peranan yang penting di pemerintahan Negeri Johor.

Setelah kerajaan Makassar turun tahta, banyak keturunan Raja Gowa yang menetap di Pekan, Pahang, daerah kekuasaan Sultan Johor. Mereka kemudian melakukan asimilasi atau kawin-mawin dengan gadis setempat. Salah seorang cicit perempuan Raja Bugis menikah dengan bangsawan Melyu, lalu keturunan dari percampuran ini diperuntukkan baginya sebuah gelar kepemimpinan yang dikenal sebagai Orang Kaya Indera Syahbandar. Peranan mereka yaitu memungut cukai serta menyiapkan para tentara dengan persenjataan yang lengkap.

Pemegang gelar Datu Syahbandar dari generasi ke generasi selalu setia kepada raja, mereka pun selalu tidak enak hati terhadap manuver Inggris yang mulai memengaruhi Kesultanan Pahang. Sehingga dalam jangka waktu singkat intervensi Inggris pun mulai menggerogoti penamaan dan silsilah Datuk Syahbandar. Setelah Dato’ Syahbandar Ali meninggal dunia, gelar yang mesti diarahkan ke Awang Muhammad tiba-tiba dilucutkan selama satu generasi. Gelar itu baru tertitis lagi pada keturunan Awang, yaitu Hussein. Ia diberi gelar pada 1930.

Namun, dalam tempo 20 tahun (1880-2000) British mengambil peranan dalam kehidupan sosial, politik dan pemerintahan di negeri Pahang. Pengambil alihan itu diawali dengan pengenalan sistem Residen melalui Perjanjian Pangkor 1874 melibatkan banyak negeri, yakni Perak, Selangor, Negeri Sembilan dan Pahang. Namun, akibatnya sistem administrasi yang asing ini membuat Dato Syahbandar secara tak langsung dianggap tidak berperanan lagi. Sekolah modern yang didirikan Inggris pun mengeliminir kemugkinan model pemerintahan tradisional, yang diajarkan kepada mereka adalah bagaimana mempersiapkan tenaga kerja yang dapat mengisi pos dinas-dinas pemerintahan daerah.

Hussein merupakan anak aristokrat Malayu yang merupakan generasi pertama untuk belajar di Maktab Melayu Kuala Kangsar pada 1905. Pada umur 1920 ia menikahi Fatimah, gadis jelita dari Pulau Keladi yang nantinya dianugerahi anak bernama Abdul Razak. Nah, Tun Abdul Razak inilah Perdana Menteri Malaysia yang kedua (1970-1975) yang merupakan keturunan Makassar. Sedangkan anaknya yang bernama Dato’ Seri Najib mewarisi kepemimpinan Bugis, yang jika ditelusuri merupakan keturunan Sultan Abdul Jalil atau Abdul Jalil atau Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone, Raja ke-15 di Kerajaan Gowa. Tun Abdul Razak pun merasa bersyukur karena telah mewarisi kepemimpinan Bugis yang dengan semangat kepahlawan untuk memantapkan kekuatan dan perpaduan Rumpun Melayu.

Kepemimpinan setelah Tun Abdul Razak pun tetap menjalin hubungan diplomatik yang erat antar Indonesia-Malaysia. Baik sejak Tunku Abdul Rahman hingga kepemimpinan Dato’ Seri Abdullah Ahmad Badawi. Dan Dato’ Seri Najib Tun Razak, perdana menteri Malaysia saat ini yang juga merupakan keturunan Bugis juga menekankan hal tersebut dalam sebuah pantun beliau: “Menobatkan Raja di Negeri Linggi, Keturunan pula para wali, kita serumpun, walau tak senegeri; kekalnya ikatan simpul mati”.

Selain tokoh politik, terdapat pula beberapa tokoh berpengaruh di Malaysia yang merupakan keturunan Bugis-Makassar, seperti Arena Wati, Elang di Negeri Melayu. Sosok asal Sulsel dan bernama lengkap Muhammad Dahlan bin Abdul Biang ini merupakan salah seorang maestro sastra terbesar abad ini di negeri Jiran. Berbagai penghargaan telah ia peroleh, antara lain: anugerah SEA Write Award (Pemerintah Tailand, 1985), anugerah Sastrawan Negara (Malaysia, 1987), anugerah MASTERA 1 Brunei, dan Anugerah Doktor Persuratan (Universiti Kebangsaan Malaysia, 2003), serta beragam penghargaan lain yang berasal dari dalam dan luar negeri.
Dengan demikian, pengaruh dan semangat Bugis-Makassar masih menghangat di negeri Jiran, semangat rindu akan kepahlawanan, keyakinan dan keteguhannya dalam menegakkan kebenaran.

Sumber : http://bontocina-kaizen.blogspot.com/2010/07/diaspora-bugis-makassar-di-negeri.html

Hubungan Kawali (Badik) dengan Tana Luwu

Oleh : Hengky Idrus Andi Mappangile 

Awal terbentuknya kerajaan luwu kaitannya dengan kebudayaan keris

Mungkin kita pernah dengar bahwa awal mula berdirinya kerajaan luwu, bersamaan dengan lahirnya kebudayaan metalurgi khususnya pemakaian besi untuk senjata-senjata pusaka dan sebagainya.. dimana salah satu besi yang dianggap bertuah dan paling dicari adalah besi Luwu (bessi Ussu).
ada beberapa versi mengenai hal tersebut, diantaranya adalah .konon pembuatan keris atau senjata pusaka pada jaman itu adalah jenis senjata berpamor, yang mana bahan tersebut salah satunya adalah besi Ussu dari Luwu yang banyak mengandung meteorit dan nikel, sehingga besi Luwu (ussu) menjadi bahan pamor utama pembuatan dalam pembuatan keris, dalam buku Ensiklopedi Keris disebutkan bahwa besi Luwu dipasaran dikenal dengan nama Bessi Pamorro, sampai dengan tahun 1920 masih dijumpai di pasar Salatiga dengan harga perkilo setara dengan 50 kg beras
Senjata berpamor pada umumnya untuk keperluan senjata pusaka karena dipercaya memiliki kelebihan2 yang berhubungan dengan aura kepemimpinan,… selain besi pamor.. di Luwu juga dikenal besi khusus untuk berperang namanya besi Ponglejing yang banyak dipergunakan sebagai senjata perang khususnya dari suku To Rongkong.
Versi lain mengatakan bahwa Sebagai mana diketahui, pulau Sulawesi adalah salah satu pulau terbesar digugusan kepulauan nusantara. Nama Sulawesi juga telah menjadi misteri tentang siapa yang pada awalnya memberikan nama pulau ini menjadi pulau Sulawesi. Akan tetapi besar dugaan bahwa orang yang bersejarah memberikan nama pulau ini sebagai Sulawesi yaitu Prof.Moh.Yamin sebagai ganti dari nama yang sebelumnya yaitu Celebes yang dikenal pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Sebenarnya nama Celebes pada awalnya dikenalkan oleh seorang yang berkebangsaan Portugal yang bernama Antonio Calvao pada tahun 1563 .Celebes oleh Antonio Calvao dimaksudkan sebagai ” ternama” atau tanah yang makmur yang terletak digaris Khatulistiwa. Celebes bagi orang Belanda menyebutnya dari kata Cele Besi yaitu Cele ( Keris,badik atau kawali)`yang dibuat dari Bessi`( Bugis).
Sebuah anekdot dalam masyarakat yang konon menurut cerita yang dituturkan oleh seorang Belanda yang bertanya kepada seseorang yang secara kebetulan seorang bugis .Orang Belanda bertanya tentang nama tempat atau pulau, akan tetapi disalah artikan oleh orang Bugis yang menurut sangkaannya orang Belanda tersebut menanyakan nama senjatanya, lalu dijawabnya sele (keris) bessi (besi). Terlepas atas kebenaran cerita tersebut tetapi kenyataannya pulau Sulawesi sejak dahulu adalah penghasil bessi (besi), sehingga tidaklah mengherankan Ussu dan sekitar danau Matana mengandung besi dan nikkel.
Bessi Luwu atau senjata Luwu (keris atau kawali) sangat terkenal akan keampuhannya, bukan saja di Sulawesi tetapi juga diluar Sulawesi, sehingga seorang novelis terkemuka Kho Ping Ho (Asmaraman) menggambarkannya dalam cerita ” Badai di laut Selatan”didalamnya diceritakan kehebatan atau keampuhan Keris Brojol Luwu yang kini telah menjadi pusaka kerajaan Airlangga.
adapun yang mengatakan bahwa asal usul pulau sulawesi adalah Sulawesi, adalah nama sebuah pulau yang berada di tengah-tengah Indonesia. Bentuknya cukup unik, seperti huruf K dan dilalui oleh garis meridian 120 derajat Bujur Timur, dan juga terhampar dari belahan bumi utara sampai selatan. Menurut wikipedia, nama Sulawesi kemungkinan berasal dari kata ‘Sula’ yang berarti pulau dan ‘besi’ yang menurutnya banyak ditemukan di sekitar Danau Matana. Pada dokumen dan peta lama, pulau ini dituliskan dengan nama ‘Celebes’. Waktu saya kecil, saya pernah mendengar hikayat tidak resmi tentang asal usul nama ‘Celebes’ ini, yang mungkin saja benar. Hikayat ini dalam Bahasa Bugis…
Wettu rioloE, wettu pammulanna engka to macellaE gemme’na, no pole lopinna ri birittasi’E, lokka i makkutana ko to kampongE. To kampong E wettunna ro, na mapparakai lopinna, masolang ngi engsele’na. Na wettunna makkutana i to macella’E gemme’na, to kampong E de’ na pahang ngi, aga hatu na pau. Kira-kira pakkutanana yaro to macella’E gemme’na, mappakkoi: “Desculpar-me, qual é o nome deste local?” Yero to kampongE, naaseng ngi kapang, “agatu ta katenning?”. Mabbeli adani to kampongE, “Sele’bessi”. Pole mappakoni ro, na saba’ asenna ‘Celebes’.
Terjemahan bebas: Pada waktu lampau, pada saat pertama kali rombongan orang yang berambut merah turun dari perahu dan menghampiri penduduk setempat yang sedang bekerja membuat perahu. Pimpinan rombongan tersebut bertanya mungkin dalam bahasa Portugis yang tidak dimengerti, mungkin bertanya ‘Apa nama tempat ini?’ Penduduk yang ditanyai, karena tidak paham, hanya mengira-ngira mungkin dia ditanya benda apa yang sedang dia pegang? Dengan spontan penduduk tersebut menjawab ‘Sele’bessi’ yang artinya engsel besi. Sejak saat itu, pimpinan orang yang berambut merah mencatat lokasi yang mereka datangi bernama daerah ‘Celebes’.
Salah satu ekspedisi ilmiah dunia terkait dengan Sulawesi dilakukan oleh Alfred Russel Wallace yang mengemukakan suatu garis pembatas tentang flora dan fauna yang ada di Indonesia. Juga ekspedisi Snellius (Universitas Leiden) yang mempelajari tentang kondisi bawah permukaan sekitar Sulawesi sampai ke Maluku. Kedua ekspedisi ilmiah pada zaman tersebut menggunakan nama ‘Celebes’.
Yang menarik adalah masyarakat lokal pada waktu itu belum menyadari untuk memberikan nama ke pulau tempat mereka berdiam. Sehingga untuk hal ini, Celebes merupakan eksonim untuk pulau yang nyaris berbentuk huruf K ini. Dari Celebes ini kemudian berevolusi menjadi ‘Sulawesi’ yang menjadi endonim sampai saat ini.
tapi menurut Bapak Iwan Sumatri seorang arkeolog dari Unhas. Terkait penelitian peninggalan sejarah dan purbakala. Salah satunya adalah penelitian kerjasama Pusat Arkeologi Makassar dan The Australia National University dengan mengambil tema proyek “The origins of Complex Society in South Sulawesi (OXIS project)” yang dilakukan di kabupaten Luwu dan hasilnya ditulis dalam bukunya “Kedatuan Luwu”.
Dalam buku itu, disebutkan Kerajaan Luwu pernah memainkan peran penting pada periode keemasan Majapahit. Karena itu, nama Luwu tercatat dalam kitab Nagarakartagama yang selesai ditulis oleh Mpu Prapanca pada 1365.
Diduga, Majapahit mengadakan kontak atau hubungan niaga dengan Kedatuan Luwu dikarenakan daerah ini memiliki sumber besi yang berkualitas baik, yang pada saat itu diperlukan oleh karajaan Majapahit untuk produk peralatan senjata/keris Jawa yang terkenal karena mengandung pamor Luwu.
Tempat yang diduga sebagai sumber bahan mineral adalah daerah Matano dan beberapa daerah di Limbong. Dalam laporan OXIS project dinyatakan:“The world’s largest nickel-mining complex is located in the southern bank of Lake matano, which has led to speculation that bickellifeous iron ore from the Matano area was smelted to produce the famous pamor Luwu used in Majapahit krisses”
Dari hasil ekskavasi atau penggalian yang dilakukan di sekitar Danau Matano 1998-1999, diketahui lokasi tersebut pernah menjadi sentra industri peleburan bijih besi dengan ditemukannya terak-terak besi yang melimpah. Bijih besinya sendiri antara lain diambil dari bukit-bukit di atasnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya ditemukan lubang-lubang bekas penambangan besi kuno di perbukitan utara Danau Matano (Bukit Latajang).
Lebih lanjut Pak Iwan-sapaan akrabnya- menyebutkan data-data pendukung bahwa Desa Matano pernah menjadi sentra industri dan pemukiman yang kompleks. Ditandai antara lain dengan adanya sisa benteng tanah dua lapis di sisi barat Desa Matano, mata air, batu dakon, situs pekuburan tua.

Rupanya Pak Iwan tidak puas hanya dengan bercerita. Beliaupun mengajak kami mengunjungi kompleks pekuburan Lakamandiu yang terletak di Bukit Pa’angkaburu, sekitar 10-an km dari Desa Matano.
Menurut Pak Iwan, yang juga ketua jurusan Arkelogi Unhas ini, Matano menjadi penting karena tradisi lisan banyak menyebutkan bahwa daerah perbukitan Danau Matano dipandang sebagai zona sumber bijih besi Luwu yang berkualitas dan kemungkinan besar pernah diekspor ke Jawa, dan diokupasi sejak sekurang-kurangnya abad XIV.
Bijih laterit yang kandungan besinya dikatakan sampai 50% serta nikel banyak ditemukan di atas muka tanah sekitar Danau Matano. Dari hasil ekskavasi yang telah dilakukan, temuan dominan di situs Matano berupa terak besi, arang, serpihan batuan lebih dari 700 buah dalam satu kotak ekskavasi yang berukuran 1×1 m. Serpihan batu ini diduga dipakai sebagai batu pematik api (batu api).
Temuan lainnya yaitu wadah tembikar polos maupun berhias, pipa tanah liat dan sebagainya. Bahkan, untuk pipa tanah liat ini ada dugaan digunakan untuk mengalirkan logam yang telah dicairkan karena ada indikasi lapisan cairan besi pada lekukan dalam.
Pada survey awal tahu 1995 oleh tim kecil yang dipimpin oleh David Bulbeck, ditemukan sisa-sisa tanah yang teroksidasi besi sepanjang tepi danau Desa Matano yang mengindikasikan sejarah yang panjang. Data lainnya berupa serpih batu (chert), fragmen gerabah hias dan polos. Selain itu diperoleh informasi adanya areal yang disebut Rahampu’u, artinya rumah pertama, yang merupakan cikal bakal pemukiman di Desa Matano.

Situs Nuha dan Pontanoa Bangka
Selain di Desa Matano, penggalian dilakukan pada tempat lain yang dianggap sebagai unit-unit pemukiman kuno di sepanjang penggiran Danau Matano, yaitu Nuha, Sukoyo, dan Pontanoa Bangka.
Disimpulkan Matano, Nuha dan Sukoyo untuk sementara diidentifikasi sebagai tempat hunian utama. Dalam konteks populasi pinggir danau, terutama bagi komunitas Nuha dan Sukoyo, dala situasi tersebut, paling representatif menggunakan Pontanoa Bangka sebagai tempat penguburan.
Pertanggalan mengenai tungku sisa-sisa pengolahan bijih besi yang ditemukan di Nuha menunjukkan bahwa sejak 1000-1500 tahun lalu masyarakat Nuha telah mengenal pengolahan bijih besi. Meskipun masih bersifat hipotesis tetapi kemungkinan besar pada masa itu masyarakat Nuha juga telah mengenal penempaan besi menjadi alat-alat kebutuhan sehari-hari, bukan mustahil juga dibuat untuk mensuplai permintaan pasar.
Diduga sekitar 1500 tahun yang lalu, kemungkinan besar masyarakat Nuha telah memiliki kontak dengan dunia luar. Jalan darat dapat mengitari bagian punggung pengunungan sekitar Danau Matano yang kemudian dapat menembus daerah seperti cerekang dan Ussu. Pada bagian utara Nuha, jalan darat dapat menghubungkan beberapa wilayah yang berbeda dalam kawasan pesisisr timur Sulawesi Tenggara dan Tengah.
Bukti kuat interaksi Nuha dengan wilayah luar, dengan ditemukannya sisa kain yang terbuat dari kapas serta manik-manik (dua diantaranya adalah dari bahan kornelian), diduga berasal dari pertengahan millennium pertama, yakni dari tahun 410-660 Masehi atau berumur ±1520 tahun yang lalu.

Jika benar pendapat bahwa Sriwijaya merupakan salah satu tempat tertua sentra industri manik kornelian antara abad VIII-XII, bukankah bahwa manik kornelian PB menunjukkan kronologi lebih tua, dan dengan begitu memberi gasasan pada kita untuk mempertanyakan; apakah manik tersebut merupakan benda impor yang sangat mungkin berasal dari India, langsung atau tidak langsung.
Demikian juga sisa kain, boleh jadi mewakili produk kain tertua yang penah itemukan di Indonesia dan merupakan jenis tekstil yang hanya diproduksi di India.
Meskipun letak geografisnya terpencil, namun terbukti, potensi sumber daya alam dan populasi yang telah menguasai keahlian dalam teknologi logam, memungkinkan daerah perbukitan Matano itu menjadi terbuka, setidaknya pernah menjalin hubungan eksternal dengan kelompok-kelompok komunitas lain dalam jaringan niaga maritim yang luas.
Hubungan itu menghidupkan arus komunikasi timbal balik dan saling ketergantungan. Jika demikian maka Nuha merupakan zona sumber alam potensial sehingga memungkinkan terjadinya barter ataupun bentuk-bentuk pertukaran kuno lainnya dari dan ke tempat ini.
Sayangnya, data arkeologi Nuha tidak tersedia cukup untuk memberi penjelasan kapan dan bagaimana pola perdagangan ataupun barter yang pernah terjadi. Tetapi kemungkinan sekali hal ini bermula dari hasil hutan seperti damar dan gaharu yang banyak ditemukan di sepanjang perbukitan dan lebah-lembah sekitar Danau Matano. Jenis interaksi ini kemudian memunculkan inovasi baru dalam bentuk pengolahan bijih besi dan besar kemungkinan menjadi komoditas utama mengikuti perkembangan pasar yang membutuhkan bahan baku pembuatan alat logam.

Pekuburan Pra Islam di Pontanoa Bangka
Pontanoa Bangka dalam bahasa lokasl berarti perahu yang ditenggelamkan ke dasar danau. Di situs ini terdapat lokasi penguburan pra islam.

Komposisi temuan ekskavasi dimulai dengan sebuah wadah gerabah yang di sekitarnya banyak ditemukan manik-manik. Di bagian bawah wadah ditemukan hamparan arang padat dan terkonsentrasi.
Pada kedalaman ±100 centimeter, ditemukan fotur yang berisi beberapa fragmen gelang dan cincin perunggu serta beberapa cangkang kemiri. Di kedalaman kurang lebih dua meter, ditemukan fitur lain yang berisi gelang, cincin, manik-manik, parang, kain dan tikar dari daun pandan/lontar(?) yang telah lapuk. Asosiasi ini kemungkinan besar merupakan satu set aksesoris perhiasan yang dibungkus dengan kain kemudian diletakkan di tas tikar bersamaan dengan parang.
Hasil analisis sejumlah sample temuan dari Pontanoa Bangka di laboratorium Australian National Universitas, Canberra, menunjukkan beberapa umur karbon. Sample arang, misalnya, yang dicuplik dari konteks kubur dengan wadah gerabah, menunjukkan pertanggalan 1000 BP. Sedangkan analisa sisa katun (kapas) serta arang dimana terdapat kubur tanpa wadah gerabah, menunjukkan pertanggalan 1500 BP atau sekitar 410-660 M.
Sementara pengajuan atas sisa pekerjaan besi dari Nuha memberi bukti tentang kegiatan olah logam tertua; pertanggalan arang yang tersisa pada tungku pembakaran menunjukkan umur 1000 BP. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa lapisan pertama (kubur dengan wadah) ada situs kubur Pontanoa bangka sejaman dengan pemukiman di Nuha.
dari hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa di masa silam telah ada populasi lokal yang cukup memiliki keahlian dalam teknologi logam yang selama beberapa abad pernah menjadi andalan ekonomi Luwu. Dan rasanya tak mengherankan jika dikekinian ada perusahaan raksasa, seperti PT Inco yang bercokol untuk menambang dan memanfaatkan potensi mineral tersebut

Monday, August 15, 2011

Pemmali dalam masyarakat Bugis Makassar I

Di kalangan penduduk, masih banyak kepercayaan yang diwujudkan dalam wujud Pemali atau laranagan. Pemmali tersebut berlaku baik dalam hal makanan maupun dalam pekerjaan tertentu. Jampi-jampi dan perbuatan magis serta jimat masih banyak ditemui dimana-mana. disebut juga Kassipalli dalam bahasa makassar berarti larangan atau pantangan untuk berbuat atau mengatakan sesuatu. biasanya tiap pemmali itu mempunyai sifat sakral dan berfungsi melindungi. khusus dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak Pemmali yang ditaati oleh penduduk.

Wednesday, February 23, 2011

Istana Ratu Luwu We Kambo Daeng Risompa di Palopo 1930-an

Jejak Bugis Makassar di Tanah Jawa

,
Jejak Bugis Makassar di Tanah Jawa Sejarah etnis Bugis Makassar dan Jawa memiliki pertautan, darah Bugis Makassar yang mengalir dalam tubuh Dr.Wahidin Sudirohusodo, pelopor Budi Utomo, adalah fakta bahwa betapa etnis Bugis Makassar yang tersohor sebagai pelaut ulung sekaligus perantau ulung telah melahirkan tokoh yang berperan dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Pendapat yang selama ini berkembang bahwa bangsa Indonesia lahir berkat perjuangan etnis tertentu adalah keliru, melainkan bangsa ini lahir dari pergolakan multietnis yang tersebar di seluruh nusantara.

Penelusuran genetis DR.Wahidin Sudirohusodo berawal pada bangsawan Bugis Makassar, Karaeng Daeng Naba yang mengembara ke Jawa setelah Kerajaan Gowa takluk pada Kompeni Belanda di tahun 1669. Di Jawa, Daeng Naba terlibat dalam intrik perebutan kekuasaan antara Trunajaya melawan Mataram, yang mengantarkan Daeng Naba pada posisi negosiator antara pasukan Trunajaya, Madura, dan Karaeng Galesong. Daeng Naba mengupayakan agar di medan pertempuran nanti pasukan Trunajaya, Madura, dan Karaeng Galesong tidak berhadapan dengan pasukan Mataram melainkan berhadapan dengan pasukan kompeni. Adegan negosiasi ini, disaksikan dalam film epik Diaspora Bugis Makassar dan Kebangkitan Nasional (DBMKN), produksi Masyarakat Sejarawan Indonesia dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI, film berdurasi 23 menit ini berusaha merekam jejak Bugis Makassar di tanah Jawa melalui karakter Karaeng Dg.Naba dan Karaeng Galesong. Pemutaran DBMKN berlangsung di Ruang Rapat A, Gedung Rektorat Unhas pada Rabu (27/05), disaksikan sejumlah wartawan media cetak dan elektronik di Makassar. Kepala Badan Sensor Film Indonesia (BSFI), DR. Mukhlis Paeni pada kesempatan diskusi setelah pemutaran film menyampaikan, Saat ini kita berada dalam era industri budaya yang menempatkan budaya sebagai deposit yang bisa dikembangkan dan meningkatkan kesejahteraan dengan mengangkat tema lokal ke layar lebar. Mukhlis menambahkan mengangkat tema lokal ke layar lebar akan lebih menarik dinikmati oleh generasi muda, mengingat adanya kecenderungan generasi muda yang enggan mentradisikan budaya membaca. Bugis Makassar sendiri memiliki beragam tema lokal yang menarik diangkat ke layar lebar, baik kisah kepahlawanan, asmara, hingga tema horor yang banyak meramaikan industri perfilman Indonesia. (Nia K.)
Sumber : Website Universitas Hasanuddin

.