Sunday, October 31, 2010

Mengenang Pahlawan Nasional Sulsel, Letjen Andi Abdullah Bau Massepe

Parepare, Andi Abduhlah Bau Massepe, adalah seorang Asisten Residen (Ken Kanrikan) yang dibentuk oleh Jepang ketika itu. Asisten  Residen ini membawahi lima wilayah Onder Afdeling, Parepare, Sulawesi Selatan, sebagai Kantor Pusat, Pinrang, Barru, Sidrap, dan Enrekang.  

Ketika mendengar Jepang telah menyerah kepada sekutu. Andi Abdullah Bau Masepe yakin Indonesia pasti merdeka. Tiga bulan setelah Jepang menyerah, beberapa tentara Jepang (Heiho) melarikan diri ke Suppa meminta perlindungan Andi Andullah Bau Masepe. Tentara Heiho ini diterima baik oleh Andi Abdullah Bau Masepe dan menganggap mereka adalah Duta Suppa untuk dipergunakan tenaganya dalam kesatuan bersenjata.

Dr. Ratulangi mendatangi Andi Abdullah Bau Masepe untuk mengadakan dan membentuk Partai Nasional Indonesia (PNI). Perintah Dr. Ratulangi itu, disampaikan ke seluruh anggota Onder Afdeling, agar mereka membentuk PNI.  Saat itu semua rakyat yang berumur 15 tahun keatas masuk PNI yang juga merupakan orang-orang rebuliken.

Pada tanggal 21 Agustus 1945 diadakan rapat raksasa dan upacara penaikan Bendera Merah Putih di lapangan La Sinrang dengan maksud memasyarakatkan Sang Merah Putih.

Pada saat itu, Andi Abdullah Bau Massepe berpidato menyerukan agar semua rakyat mempertahankan kemerdekaan samai tetes darah penghabisan. Pada rapat-rapat selanjutnya, Andi Bau Massepe selalu menekankan perlunya persatuan dan kesatuan untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan. Selain itu, Andi Bau Massepe juga menyusun satu kesatuan bersenjata untuk mem pertahankan Indonesia.

"Kalau perlu kita harus berkorban harta dan jiwa. Kalau kita tak dapat menikmati kemerdekaan, nanti anak cucuku kita yang menikmatinya, di Indonesia pasti mereka." Begitu ucapan Andi Abdullah Bau Massepe ketika mengadakan pertemuan rahasia yang berlangsung di rumahnya di Majennang, yang dihadiri para pegawai swapraja Suppa dan pemuka-pemuka masyarakat Suppa. Pada rapat rahasia itu disepakati menyetujui dan mengangkat sumpah mengatakan "Polopa polopanni narekko naposiri ipomateni idi' atae".

Pada saat itu juga oleh Andi Abdullah Bau Massepe memerintahkan Andi Arsyad, AndiSelle, Labanggo Siradja untuk menyusun laskar BPRI guna persiapan tempur melawan NICA (Belanda) dan dibantu oleh bekas Heihodari Jepang yang melarikan diri dan berjuang untuk kemerdekaan RI. Kemudian dibentuk juga Persatuan Merah Putih. Para komandan laskar tersebutm, masing-masing Andi Cammi di Sidrap dengan gelar Ganggawa, Andi Abu Bakar Masenrengpulu di Enrekang gelarnya BPRI Andi Parenrengi di Majene dengan gelar Kris Muda, Di Barru diberi gelar BPRI.

Tanggal 30 Agustus 1945, Andi Abdullah Bau Massepe bersama Andi Makkasau mengadakan demonstrasi barisan keliling kota Parepare dengan membawa bendera Merah Putih, sekitar 400 orang dari Suppa dengan menggunakan Kopiah berlambang merah putih, bergabung dengan PNI Parepare yang dipimin Usman Isa yang juga Ketua PNI Parepare. Gerakan itu dilakukan untuk menunjukkan bahwa mereka siap mempertahankan kemerdekaan RI. Ketika Tentara NICA berkuasa, Andi Abdullah Bau Massepe bersama pasukannya terus melakukan perlawanan terhadap tentara NICA.

Pasukan dibawah Komando Andi Abdullah Bau Masepe itu melakukan gerakan gerilla dan beberapa kali terjadi kontak senjata dengan tentara NICA. Untuk kebutuhan persenjataan, Andi Bau Massepe melakukan kontak dengan Juli, seorang Komandan Polisi NICA di Balik Papan (Kaltim). Juli yang juga seorang pejuang sejati itu, mensuplai ratusan senjata dan amunisidan diselundupkan masuk melalui pelabuhan Suppa.

Rupanya gerakan perjuangan Andi Abdullah Bau Massepe membuat pusing tentara NICA. Komandan Tentara NICA kemudian menemui Andi Abdullah Bau Massepe ke Kantor Swapraja di Suppa. NICA menyodorkan selembar kertas agar ditandatangani. Isi surat itu, agar Andi Abdullah Bau Massepe mau menyetujui keberadaan Belanda di wilayahnya. Tawaran itu ditolak mentah-mentah.

"Permintaan tuan tidak dapat dipenuhi. Indonesia pasti merdeka, tidak ditawar-tawar kalau perlu saya korban bersama-sama dengan rakyat di Suppa, kalau perlu korban darah dan jiwa pun saya rela dan saya tidak bisa berbicara dua kali, hanya sekali dilahirkan oleh ibu saya, tidak cukup dua kali dan berpesan lebih baik mati berkalang tanah daripada dijajah kembali oleh Belanda." tegas Andi Abdullah Bau Massepe ketika itu. Perkataan itu membuat Komandan Tentara NICA marah.

Beberapa hari kemudian, tentara Belanda menangkap Andi Abdullah Bau Masepe bersama Andi Baso Daeng Erang Sulawatang Suppa, Andi Mojong Pabbicara Suppa dan Syamsuddin Juru tulis Suppa. Kelimanya ditahan Belanda di barak tentara NICA di kampung Kariango. Bulan Desember, Andi Abdullah Bau Massepe dan Andi Baso Daeng Erang dibunuh di Palia, yang lainnya ditembak mati di Suppa. Dari perjuangan Andi Abdullah Bau Massepe, lahirlah Resimen I Paccekke Brigade 16.  

Penganugerahan kepada pejuang sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah adalah merupakan suatu bentuk penghargaan pemerintah kepada jasa para pahlawan yang telah berkorban jiwa dan raga demi dan semata-mata untuk membebaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan dimasa yang silam adalah manifestasi bahwa bangsa kita dewasa ini meski di ronrong berbagai masalah dan polemik tetap dan tak akan lekang menghargai pengorbanan para pahlawan bangsa ini, sebab Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu menghormati dan menghargai jasa pahlawannya.  

Begitu pun sejarah heroik yang telah dilakoni oleh sosok Andi Abdullah Bau Massepe pejuang yang dengan begitu gigih berjuang bersama masyarakat Sulawesi Selatan dalam mengusir penjajahan dari bumi Sulawesi, yang dalam rangkaian perjalanan yang begitu panjang dan berliku dan tanpa mengenal lelah serta pengorbanan harta dan nyawa telah membawa bangsa ini ke zaman yang kita nikmati saat ini, kemerdekaan dan kebebasan.

Olehnya pemerintah pusat berkenan menganugerahkan Letnan Jenderal TNI Andi Abdullah Bau Massepe sebagai pahlawan nasional pada momen Hari Pahlawan tanggal 10 November 2005 bertempat di Istana Negara Jakarta oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dihadiri segenap pejabat tinggi negara serta ahli waris, keluarga dan kerabat Andi Abdullah Bau Massepe serta masyarakat Sulawesi Selatan sendiri.

Rasa bangga dan terhormat tentu saja dirasakan oleh bukan saja keluarga dan kerabat Bau Massepe akan tetapi kebanggaan dan penghormatan tersebut juga dirasakan oleh seluruh masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya.


Oleh : Sulhayat Takdir, Sh

Monday, October 18, 2010

Selamat Ulang Tahun Sulsel Ke-341

Makassar yang dulu disebut Ujung Pandang adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan. Di Sulsel, ada beberapa suku bangsa, yaitu Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, Duri, Pattinjo, Maroangin, Endekan, Pattae, dan Kajang/Konjo.

Menurut catatan Wikipedia, lima tahun setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1950, yang menjadi dasar hukum berdirinya Provinsi Administratif Sulawesi. Sekira 10 tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 47 Tahun 1960 yang mengesahkan terbentuknya Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Empat tahun kemudian, melalui UU Nomor 13 Tahun 1964, pemerintah memisahkan Sulawesi Tenggara dari Sulawesi Selatan. Terakhir, pemerintah memecah Sulawesi Selatan menjadi dua, berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004.

Kabupaten Majene, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara dan Polewali Mandar, yang tadinya merupakan kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan resmi menjadi kabupaten di Provinsi Sulawesi Barat, seiring dengan berdirinya provinsi tersebut pada 5 Oktober 2004 berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004.

Sunday, October 17, 2010

Go Iwata, Mahasiswa Jepang Peneliti Budaya Siri' na Pacce di Galesong Takalar

Boleh dibilang belum ada peneliti asing yang serius meneliti budaya siri' na pacce secara mendalam. Mahasiswa Jepang ini justru menghabiskan waktu selama dua tahun untuk menelitinya. Ia begitu takjub dengan dinamisasi masyarakat Sulsel. Laporan: Ridwan Marzuki, Makassar SOSOKNYA sederhana. Perawakannya tinggi. Ia begitu ramah dan murah senyum. Dengan fasih ia menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ia bernama Go Iwata, peneliti asal Jepang yang telah menetap di Sulsel selama dua tahun untuk melakukan penelitian mengenai budaya siri' na pacce.

Dia mampu menjawab setiap pertanyaan dengan lancar dalam tiga bahasa; Indonesia, Makassar, dan Bugis. Tetapi dibandingkan bahasa Bugis, bahasa Makassar lebih dikusasainya.

Mahasiswa S2 di Kyoto University ini berada di Makassar untuk melakukan penelitian sejak Oktober 2008. Dia begitu tertarik dengan konsepsi siri' na pacce yang dianggapnya lahir dari sebuah masyarakat dinamis. Penelitiannya telah ia rampungkan, dan September ini ia akan kembali ke negaranya, Jepang. Untuk merampungkan tesis, katanya.

Lokasi penelitian Iwata di daerah Galesong, Takalar. Sebelumnya, tepatnya saat masih S1 di Jurusan Kajian Indonesia Fakultas Kajian Asing, Tokyo University of Foreign Studies pada kurun waktu 2002-2006, dirinya intens mempelajari Bahasa Indonesia.

Juga mempelajari budaya dan sejarah negeri beribu pulau ini. Terkhusus mempelajari budaya Bugis-Makassar yang terkenal sebagai perantau, banyak memiliki pahlawan, dan memiliki jiwa patriotisme tinggi.

"Dari situ saya tertarik untuk meneliti budaya Bugis-Makassar. Saya ingin tahu apa yang melatarbelakangi sehingga Bugis-Makassar ini bersifat begitu dinamis," ungkap Iwata saat bertandang ke redaksi Fajar, Senin 20 September lalu.

Bukan hanya mempelajari budaya Bugis-Makassar, tetapi kebudayaan Jawa juga tak urung menjadi bagian yang dipelajari dan menarik perhatiannya. Hanya saja, penelitiannya fokus pada budaya Bugis-Makassar, yaitu konseps siri' na pacce (Makassar) atau siri' na pesse (Bugis).

Siri' na pacce, kata dia, merupakan tema umum yang melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Sulsel, khususnya etnis Bugis-Makassar. Iwata menjelaskan, pada mulanya, siri' na pacce merupakan sesuatu yang berkaitan kawin lari.

Yakni jika sepasang pria dan wanita kawin lari, maka mereka telah dianggap melakukan perbuatan siri' dan membawa aib bagi keluarga. Keluarga perempuan selanjutnya disebut tumasiri', yaitu orang-orang yang berhak menuntut sang pria secara hukum adat karena keluarganya dibawa kabur (kawin lari).

Selama belum kembali melakukan perdamaian, maka selama itu pula sang pria tidak diperkenankan bertemu keluarga pihak perempuan sebagai pasangan kawin larinya. Perdamaian hanya bisa dilakukan secara adat dengan kembali membawa sang perempuan ke rumahnya yang selanjutnya disebut a'bajik.

Jika ini belum dilakukan, maka status tumasiri' tetap melekat bagi keluarga perempuan. Namun jika a'bajik sudah dilaksanakan, maka pasangan kawin lari tadi secara hukum adat sudah terlindungi. Siapa saja yang mengganggunya akan dicap sebagai pelanggar adat dan dikenakan hukum adat.

"Inti budaya siri' na pacce itu bukan cuma berkaitan pernikahan. Tapi, mencakup seluruh aspek kehidupan orang Bugis-Makassar. Karena, siri' na pacce itu merupakan jati diri bagi orang Bugis-Makassar," ucap pria kelahiran Jepang, 21 September 1983 ini.

Siri' na pacce, imbuhnya, juga berfungsi mencipatakan hubungan harmonis serta melahirkan kerukunan antar sesama, baik dalam relasi antar-individu, kelompok, maupun kemasyarakatan. Konsep itu, kata lelaki bujang ini, berkaitan erat dengan saling menghargai atau sipakatau atau sipakalabbiri (Makassar). Intinya, kata dia, budaya siri' na pacce mengarahkan manusia untuk saling menghargai dan menghormati harga diri masing-masing, serta saling mengasihi dan menyayangi.

Dan itu, imbuhnya, sampai kini tidak mengalami pergeseran berarti, kecuali pada wilayah ekspresif atau simbol. Dalam Bahasa Indonesia, siri' biasa diterjemahkan dengan malu, harga diri, kehormatan. Tapi menurut Iwata, semua itu tidak pas mewakili makna siri' yang sebenarnya.

"Sering saya dengar orang terutama di media-media mengatakan bahwa budaya siri' na acce itu telah pudar. Tetapi menurut saya, keberadaan wacana seperti itu membuktikan bahwa perhatian terhadap budaya ini masih sangat tinggi. Mengapa? Karena orang di sini sendiri menganggap budaya ini sebagai suatu konsep yang begitu tinggi, yakni suatu nilai budaya yang sangat penting," urainya.

Menurut Iwata, ada kemiripan budaya malu antara orang Jepang dan Bugis-Makassar. Orang Jepang, katanya, selalu memperhatikan pandangan orang lain terhadap dirinya sementara orang Sulsel (Makassar), kehormatan atau harkat keluarga begitu dijunjung. Rasa persaudaraan orang Sulsel juga dinilainya sangat tinggi.

Sebagai contoh, ungkapnya, tidak seorang pun yang menolak kehadirannya di Galesong selama hampir dua tahun. Dia bahkan sangat terkesan dengan sikap Camat Galesong yang ditinggalinya selama melakukan penelitian.

"Saya mengerti keadaan kamu karena saya juga pernah kuliah di Jawa, yakni di Universitas Gajah Mada," ujar Iwata menirukan perkataan Camat Galesong, saat menolak pembayaran sewa rumahnya.

Begitu berkesannya Sulsel baginya, sehingga suatu saat ia berharap dapat kembali ke Indonesia mengunjungi orang Makassar. Ia malah menganggap Sulsel sebagai kampung halaman keduanya. Oleh karena itu, kepulangannya ke Jepang dianggapnya bukan sebuah perpisahan, melainkan langkah atau jenjang untuk melanjutkan hubungan yang lebih erat dan lebih dalam lagi.

"Jadi itu juga wujudnya persaudaraan orang Sulawesi Selatan ini. Sekali kenal baik, maka ikatan persaudaraannya akan sangat kuat. Makanya saya harus kembali lagi ke sini, atau orang sini yang ke Jepang. Pappala' doangngang mamaka," ucapnya dalam Bahasa Makassar yang berarti minta didoakan. (*)

Sumber : Fajar News (www.news.fajar.co.id)


The Bugis (The Peoples of South-East Asia and the Pacific)Challenging Gender Norms: Five Genders Among Bugis in Indonesia (Case Studies in Cultural Anthropology)Bugis Weddings: Rituals of Social Location in Modern Indonesia (Monograph Series, Center for South and Southeast Asia Studies University of Californ)Making Blood White: Historical Transformations in Early Modern MakassarMakassar: Webster's Timeline History, 1646 - 2007And The Sun Pursued The Moon: Symbolic Knowledge And Traditional Authority Among The Makassar
.