Wednesday, December 28, 2011

Daeng Mangalle Tokoh Pembangkang Raja Siam Phra Narai (1686)

Kisah ini sendiri diambil dari catatan Claude de Forbin seorang ksatria Prancis, yang dikirim ke Siam (sekarang Thailand) oleh Raja Louis XIV, dengan misi yang amat ambisius dalam hal politik, agama, ilmu pengetahuan dan ekonomi. 

Tahun 1658 - 1659 Phra Narai, raja Siam tercatat memberikan daerah 
pengungsian bagi 773 orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat 
dan berikutnya pada Tahun 1664, 250 orang (pria, wanita dan anak-anak) 
tiba dari Makassar dan diberikan hak dan membangun komunitas 
perkampungan bersebelahan dengan orang-orang Melayu yang sudah lebih 
dulu menetap. 

Akan tetapi keadaan yang damai dan harmonis di Siam waktu itu tidak 
berlangsung lama, karena seringnya terjadi intrik dan perebutan 
kekuasan dalam lingkungan keluarga dan kerabat istana. Tidak 
terkecuali Phra Narai dulunya juga adalah seorang yang merebut 
kekuasaan dengan cara kekerasan dan berdarah, sehingga ia sadar betul 
bahwa kekuasaanya tidak berakar dan tidak kuat dukungannya sehingga ia 
akan gampang pula digulingkan, karena itulah ia mempercayakan 
pertahanan kerajaannya pada serdadu Prancis yang kala itu sedang 
berada di Siam atas perintah Raja Prancis. Serdadu Prancis dipimpin 
oleh Claude de Forbin dengan 6 kapal dan satu detasemen militer yang 
beranggotakan 636 orang. 

Adalah seorang pangeran Makassar bernama Daeng Mangalle yang rupanya 
terlibat dengan konspirasi Melayu, Campa, Makassar dan orang Islam 
lain di Siam, konspirasi ini akan berencana menyerang istana dan 
membunuh raja Siam Phra Narai, karena Raja dianggap telah melenceng 
yaitu menempatkan kepercayaan pada orang asing yaitu Prancis dan Misi 
orang asing mengembangkan agama baru kemungkinan lebih buruk lagi Raja 
akan berpindah memeluk agama baru. 

Rupanya konspirasi ini sudah tercium sang raja, sehingga dengan cepat 
Phra Narai memperkuat pertahanan istananya dengan menempatkan pasukan 
Prancis tersebut serta meminta dukungan dari orang asing lainnya. 
Daeng Mangalle menolak meminta pengampunan dari Raja dan menyangkal 
keterlibatannya dalam persekongkolan tersebut. 

Karena menolak akhirnya raja memerintahkan Forbin untuk mengepung 
kapal-2 orang Makassar yang berniat meninggalkan Siam. 
Kontak senjata pertama terjadi 40 orang Makassar menghadapi serdadu 
Prancis dan Portugis dimana orang-2 Makassar menyerang mereka dengan 
mengerikan mengejar pasukan Prancis dan Portugis sejengkal demi 
sejengkal tanah yang dilewati menjadi ladang pembantian, wanita, 
anak-anak semua dibunuh tanpa kecuali. Enam orang Makassar menyerang 
Pagoda dan membunuh biawarawan disana, tercatat pasukan Eropa-Siam 
kehilangan 366 orang dan belum lagi korban penduduk sipil. 

Kontak kedua terjadi lagi saat tanggal 23 September 1686, raja 
memerintahkan serangan besar2-an ke perkampungan orang Makassar. 
Akhirnya prinsip orang Bugis Makassar menghadapi tantangan "sekali 
layar berkembang pantang surut kebelakang" menyadari bahwa sudah tidak 
ada kemungkin lain selain bertempur sampai mati, banyak diantara 
mereka membunuh istri dan anak-anaknya untuk menghindari penjara dan 
perbudakan. Beberapa kali pasukan Siam harus mundur menghadapi 
perlawanan orang Makassar yang sangat berani dan nekat. 
Daeng Mangalle sendiri terluka dengan lima tusukan tombak dan setelah 
tangannya tertembak langsung menerjang menteri Siam dan membunuh 
seorang Inggris. 

Demikianlah akhir dari pertempuran itu 22 orang Makassar akhirnya 
menyerah dan 33 orang prajurit Makassar dikumpulkan. Perlaakuan 
terhadap orang Makassar yang tersisa sungguh tak terperikan kejamnya, 
ada yang dikubur hidup-2 berdiri sampai leher dan mati setelah 
diperlakukan dan di cemohkan dan dinakan benar-benar tanpa belas kasihan. 

Peristiwa di Siam ini benar-benar membuat penduduk setempat kagum akan 
keberanian kenekatan orang-orang Makassar menghadapi tentara yang 
berjumlah ribuan dengan senjata lebih lengkap sementara orang Makassar 
hanya bersenjatakan tombak dan badik, selama pertempuran itu 1000 
orang siam dan 17 orang asing tewas mengenaskan.

Buku: Orang Indonesia & Orang Prancis, dari abad XVI sampai 
dengan abad XX, karya Bernard Dorleans 

Bernard Dorleans, sejarawan Perancis, mengumpulkan catatan 
itu dalam buku 'Orang Indonesia dan Orang Perancis' (Edisi bahasa Indonesia, 
KPG, 2006). Ia merujuk pada artikel Christian Pelras di majalah Archipel pada 
1997. Kisah ini terjadi pada masa pemerintahan Louis XIV dan Louis XV 
(1686-1736). Pada abad XVII masih sedikit orang Perancis yang pergi ke Makassar. 

Uraiannya begini: 

Keluarga kerajaan memiliki tradisi mengirim pangeran muda untuk melengkapi 
pendidikan, militer khususnya, pada umur lima atau enam tahun hingga masa 
remaja. Tersebutlah dua pangeran, Daeng Ruru, 15 tahun dan Daeng Tullolo, 16 
tahun. Mereka dua pangeran yang selamat dalam pertempuran di Siam, 
ketika Daen Ma-Alee (Daeng Mangalle), pangeran Makassar yang hidup dalam 
pengasingan di Siam, seorang muslim, dituduh bersekongkol melawan 
Raja Siam dan tewas saat pertempuran pada 1686. 

Kepala kantor dagang Perancis di Siam memutuskan untuk mengirimkan Daeng Ruru 
dan Daeng Tullolo ke Perancis. Mereka naik kapal Coche pada akhir November 1686, 
tiba di Brest 15 Agustus 1687, dan baru berlabuh di Paris pada 10 September. 
Louis XIV merasa tidak hanya wajib memenuhi kebutu*an hidup mereka, tapi juga 
mengurusi pendidikan mereka dengan alasan kelas sosial kedua pangeran itu. 

Kedua pemuda muslim itu dibaptis dalam agama Kristen dan diberi nama kehormatan 
Louis bak raja Perancis. Mereka didaftarkan masuk ke kolese jesuit di Louis 
le-Grand untuk belajar bahasa Perancis sebelum masuk ke sekolah tinggi Clermont 
yang kondang. Lantas mereka diterima di institut paling bergengsi, yakni sekolah 
perwira angkatan laut Brest pada 1682. Seleksi untuk masuk ke situ sangat ketat. 
Kelak, sekolah itu menjadi cikal bakal sekolah marinir tertinggi di Perancis. 

Daeng Ruru muda mendapat promosi amat cepat. Lulus sebagai perwira hanya dalam 
waktu dua tahun. Usianya 19 tahun saat menyandang pangkat letnan muda, setara 
letnan di angkatan darat. Usia 20, menyandang letnan, setara kapten di angkatan 
darat. 

Konon untuk mencapai prestasi gemilang macam itu, orang harus cerdas dan 
berharta. Daeng Ruru berhasil karena itu. Tapi anehnya, pada 1706, Louis Pierre 
Makassar (Daeng Ruru) tak diajak ikut dalam operasi angkatan laut ketika itu. Ia 
mengirim surat keluhan kepada de Pontchartain, menteri kelautan kerajaan. 
Protes. 

Pada 3 Januari 1707, Daeng Ruru bertugas di kapal Jason. Bersenjatakan 54 
meriam, dengan tugas memburu kapal serang Belanda, Vlisingen yang menyerang 
kawasan laut Belle-ille dan ille de Croix. Tak lama kemudian, Daeng bertugas di 
kapal Grand yang ke Havana, membantu Spanyol bertempur melawan Inggris. Pada 19 
Mei 1708, Daeng Ruru tewas: entah karena masalah kehormatan atau perkara utang 
judi. 

Lain lagi cerita, Daeng Tulolo alias Louis Dauphin Makassar. Ada kisah aneh 
tentangnya, seperti diungkapkan kamus Moreri: Salah satu dari kedua bersaudara 
itu tewas ketika mengabdi kepada raja. Dia yang bertahan hidup, setelah 
mengetahui kematian sepupunya, pulang dari Perancis untuk mengambilalih takhta 
nenek moyangnya dan raja mengijinkan naik kapal. 

Ia terlihat amat tekun menjalankan agama Katholik dan bahkan sebelum 
meninggalkan Perancis, ia membuat suatu gambar yang sepertinya dipersembahkan 
untuk perawan suci, Maria. Ia mendirikan ordo yang disebut 'Bintang'. Para 
satria dalam ordo itu harus mengenakan pita putih yang diletakkan di bawah 
perlindungan Bunda Maria. Gambar itu diletakkan dalam gereja Notre Dame, tapi 
beberapa tahun kemudian gambar itu diturunkan setelah orang tahu kalau pangeran 
itu telah memeluk agama nenek moyangnya, Islam, dengan alasan poligami.' 

Kenaikan pangkat Daeng Tullolo lebih lambat dari abangnya. Ia lulus sekolah 
angkatan laut pada 18 Mei 1699 tetapi menunggu 13 tahun sebelum jadi letnan muda 
pada usia 38 tahun. Pangkat itu disandangnya seumur hidup. 

Ia sempat bertugas di kapal India. Ketika ia meninggal di Bres 30 November 1736 
pada usia 62 tahun, ia dibawa ke gereja Carmes di kota itu untuk disemayamkan 
dengan dihadiri beberapa perwira angkatan laut. Ia dikubur dalam gereja Louis de 
Brest. Jenazahnya hancur ketika terjadi pemboman saat perang dunia II.
.